Senin, 03 Agustus 2020

Penjelasan Kitab Tauhid BAB 4 – TAKUT KEPADA SYIRIK

BAB 4([1])

TAKUT KEPADA SYIRIK([2])

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

إِنَّ اللَّـهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَاءُ

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya”. (QS. An Nisa’: 48). ([3])

Nabi Ibrahim berkata:

وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَن نَّعْبُدَ الْأَصْنَامَ

“Dan jauhkanlah aku dan anak cucuku dari perbuatan (menyembah) berhala”. ( QS. Ibrahim: 35 ). ([4])

Diriwayatkan dalam suatu hadits, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 أَخْوَفُ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ الشِّرْكُ الأَصْغَرُ، فَسُئِلَ عَنْهُ؟ فَقَالَ: الرِّيَاءُ

“Sesuatu yang paling aku khawatirkan dari kamu kalian adalah perbuatan syirik kecil, kemudian beliau ditanya tentang itu, dan beliaupun menjawab: yaitu riya.”(HR. Ahmad, Thabrani dan Abu Dawud). ([5])

Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ مَاتَ وَهُوَ يَدْعُو مِنْ دُوْنِ اللهِ نِدًّا دَخَلَ النَّارَ

“Barangsiapa yang mati dalam keadaan berdo’a kepada sesembahan apapun selain Allah, maka masuklah ia ke dalam neraka.”( HR. Bukhari). ([6])

Diriwayatkan oleh Muslim dari Jabir radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ لَقِيَ اللهَ لاَ يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ لَقِيَهُ يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا دَخَلَ النَّارَ

“Barangsiapa yang menemui Allah (mati) dalam keadaan tidak berbuat syirik kepada-Nya, pasti ia masuk surga, dan barangsiapa yang menemui-Nya (mati) dalam keadaan berbuat kemusyrikan maka pasti ia masuk  neraka”. ([7])

Kandungan bab ini:

  1. Syirik adalah perbuatan dosa yang harus ditakuti dan dijauhi.
  2. Riya’ termasuk perbuatan syirik.
  3. Riya’ termasuk syirik kecil.
  4. Riya’ adalah dosa yang paling ditakuti oleh Rasulullah terhadap orang-orang shaleh. ([8])
  5. Dekatnya surga dan neraka.
  6. Dekatnya surga dan neraka telah sama-sama disebutkan dalam satu hadits.
  7. Barangsiapa yang mati tidak dalam kemusyrikan maka pasti ia masuk surga, dan barangsiapa yang mati dalam kemusyrikan maka pasti ia masuk neraka, meskipun ia termasuk orang yang banyak ibadahnya.
  8. Hal yang sangat penting adalah permohonan Nabi Ibrahim untuk dirinya dan anak cucunya agar dijauhkan dari perbuatan menyembah berhala.
  9. Nabi Ibrahim mengambil ibrah (pelajaran) dari keadaan sebagian besar manusia, bahwa mereka itu adalah sebagaimana perkataan beliau:

رَبِّ إِنَّهُنَّ أَضْلَلْنَ كَثِيرًا مِّنَ النَّاسِ

“Ya Rabb, sesungguhnya berhala-berhala itu telah menyesatkan banyak orang.” (QS. Ibrahim: 36).

  1. Dalam bab ini mengandung penjelasan tentang makna لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهَ sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, [yaitu: pembersihan diri dari syirik dan pemurnian ibadah kepada Allah].
  2. Keutamaan orang yang dirinya bersih dari kemusyrikan.

KETERANGAN (FOOTNOTE): 

([1]) Keterkaitan bab ini dengan bab-bab sebelumnya adalah tatkala penulis menyebutkan bab-bab sebelumnya tentang tauhid, keutamaan tauhid, dan secara khusus tentang keutamaan memurnikan tauhid maka setelah itu sangat tepat untuk menyebutkan tentang hakikat kesyirikan. Karena tauhid seseorang tidak akan sempurna kecuali dengan mengenal lawannya yaitu kesyirikan.  Jika seseorang telah menjalankan tauhid namun tidak mengenal kesyirikan dan jenis-jenisnya maka dikawatirkan ia akan terjatuh dalam kesyirikan. Diriwayatkan bahwa Umar bin al-Khotthob berkata :

إِنَّمَا تُنْقَضُ عُرَى الإِسْلاَمِ عُرْوَةً عُرْوَةً إِذَا نَشَأَ فِي الإِسْلاَمِ مَنْ لاَ يَعْرِفُ الْجَاهِلِيَّةِ

“Hanyalah terlepaskan simpul tali Islam sedikit demi sedikit jika tumbuh dalam Islam seseorang yang tidak mengenal perkara-perkara jahiliyah” (lihat Dar’u Ta’aarud al-‘Aql wa an-Naql 5/259).

Sebagaimana pepatah berkata :

الضَّدُّ يُظْهِرُ حُسْنَهُ الضِّدُّ، وَبِضِدِّهَا تَتَبَيَّنُ الأَشْيَاءُ

“Sesuatu akan diperlihatkan keindahannya oleh lawannya (antonimnya), dan dengan lawannya maka sesuatu akan semakin jelas”

Karenanya tidaklah mengetahui dengan sungguh-sungguh akan nikmat sehat kecuali yang sedang merasakan sakit, tidak ada yang mengetahui nilai lampu kecuali orang yang sedang dalam kegelapan, tidak ada yang mengetahui nilai air kecuali orang yang sedang kehausan, dan tidak ada yang mengetahui benar nikmat keamanan kecuali orang yang sedang dilanda peperangan. Karenanya tidak ada yang sungguh mengetahui nilai tauhid dan pentingnya tauhid, pentingnya memurnikan tauhid kecuali orang yang mengetahui kesyirikan dan jenis-jenisnya, mengetahui perkara-perkara jahiliyah, sehingga ia menjauhinya dan selalu berusaha menjaga tauhidnya.

Dari sini kita tahu kesalahan sebagian orang yang menyatakan “tidak perlu mempelajari aqidah-aqidah yang batil seperti jahmiyah dan mu’tazilah, tidak perlu mempelajari firqoh-firqoh sesat seperti khowarij dan syi’ah, yang penting ajari masyarakat dengan aqidah yang benar.”

Ada pula yang menyatakan, “Sekarang khurofat sudah hilang, maka ajarilah masyarakat tekhnologi dan pengetahuan“, atau yang berkata, “Tidak perlu mengajarkan tentang kesyirikan, masyarakat berada di atas tauhid atas fitroh mereka“. Akhirnya orang-orang yang menyatakan demikian sama sekali tidak tertarik untuk mengingkari kesyirikan, lalu mereka menyatakan ada kesyirikan yang lebih penting yaitu kesyirikan politik !! (Lihat I’anatul Mustafiid 1/127-128)

Sungguh aqidah-aqidah batil tersebut masih berkembang hingga saat ini…!. Syubhat-syubhat ahlu as-syirik masih terus dihembuskan…!.

Karenanya tidak ada yang benar-benar memahami nilai tauhid seperti para sahabat, yang kebanyakan mereka pernah merasakan bangkai kesyirikan, lalu mereka menemukan tauhid dengan diutusnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata :

برز الصَّحَابَة على جَمِيع من أَتَى بعدهمْ إِلَى يَوْم الْقِيَامَة فَإِنَّهُم نشأوا فى سَبِيل الضلال وَالْكفْر والشرك والسبل الموصلة إِلَى الْهَلَاك وعرفوها مفصّلة ثمَّ جَاءَهُم الرَّسُول فَأخْرجهُمْ من تِلْكَ الظُّلُمَات إِلَى سَبِيل الْهدى وصراط الله الْمُسْتَقيم فَخَرجُوا من الظلمَة الشَّدِيدَة إِلَى النُّور التَّام وَمن الشّرك إِلَى التَّوْحِيد وَمن الْجَهْل إِلَى الْعلم وَمن الغي إِلَى الرشاد وَمن الظُّلم إِلَى الْعدْل وَمن الْحيرَة والعمى إِلَى الْهدى والبصائر فعرفوا مِقْدَار مَا نالوه وظفروا بِهِ وَمِقْدَار مَا كَانُوا فِيهِ فَإِن الضِّدّ يظْهر حسنه الضِّدّ وَإِنَّمَا تتبين الْأَشْيَاء بأضدادها فازدادوا رَغْبَة ومحبة فِيمَا انتقلوا إِلَيْهِ ونفرة وبغضا لما انتقلوا عَنهُ وَكَانُوا أحب النَّاس فِي التَّوْحِيد وَالْإِيمَان وَالْإِسْلَام وَأبْغض النَّاس فِي ضِدّه عَالمين بالسبيل على التَّفْصِيل

وَأما من جَاءَ بعد الصَّحَابَة فَمنهمْ من نَشأ فِي الْإِسْلَام غير عَالم تَفْصِيل ضِدّه فَالْتبسَ عَلَيْهِ بعض تفاصيل سَبِيل الْمُؤمنِينَ بسبيل الْمُجْرمين فَإِن اللّبْس إِنَّمَا يَقع إِذا ضعف الْعلم بالسبيلين أَو أَحدهمَا … فَمن لم يعرف سَبِيل الْمُجْرمين وَلم تستبن لَهُ أوشك أَن يظنّ فِي بعض سبيلهم أَنَّهَا من سَبِيل الْمُؤمنِينَ

“Sahabat unggul atas seluruh yang datang setelah mereka hingga hari kiamat. Karena para sahabat tumbuh dalam jalan kesesatan, kekufuran, dan kesyirikan, serta jalan-jalan yang mengantarkan kepada kebinasaan. Mereka mengenal jalan-jalan tersebut secara terperinci, lalu datang kepada mereka seorang Rasul yang mengeluarkan dari kegelapan-kegelapan tesebut menuju jalan petunjuk dan jalan Allah yang lurus. Maka merekapun keluar dari kegelapan yang sangat gulita menuju cahaya yang terangnya sempurna, dari kesyirikan menuju tauhid, dari kebodohan menuju ilmu, dari kesesatan menuju kebenaran, dari kedzaliman menuju keadilan, dari kebimbangan dan kebutaan menuju petunjuk dan penglihatan, maka merekapun sangat mengerti akan nilai apa yang telah mereka raih dan mereka dapatkan serta nilai yang mereka berada diatasnya. Karena dengan mengenal lawan sesuatu maka akan tampak keindahan sesuatu tersebut, karena segala sesuatu semakin lebih jelas dengan mengenal lawan-lawannya. Maka para sahabatpun semakin bertambah semangat dan kecintaan terhadap kondisi baru yang mereka berubah kepadanya, dan mereka semakin jauh dan benci terhadap kondisi yang telah mereka tinggalkan, dan mereka adalah orang yang paling cinta terhadap tauhid, iman, dan islam. Mereka juga adalah orang yang paling benci terhadap lawan tauhid karena mereka mengetahui jalan-jalan dengan terperinci.

Adapun orang-orang yang datang setelah mereka (para sahabat) maka diantara mereka ada yang tumbuh dalam keislaman namun tidak mengetahui lawannya secara terperinci, akhirnya terasa rancu baginya sebagian perkara dari jalan kaum mukminin dengan sebagaian perkara dari jalan kaum mujrimin. Kerancuan tersebut hanyalah terjadi jika kurang ilmu terhadap kedua jalan atau terhadap salah satunya…Maka barang siapa yang tidak mengenal jalan kaum mujrimin dan tidak jelas maka bisa jadi ia menyangka sebagian jalan kaum mujrimin dianggap merupakan jalan kaum mukminin. (Al-Fawaid hal 109)

Ja’far bin Abi Tholib radhiallahu ‘anhu berkata kepada Raja An-Najasyi :

أَيُّهَا الْمَلِكُ، كُنَّا قَوْمًا أَهْلَ جَاهِلِيَّةٍ نَعْبُدُ الْأَصْنَامَ، وَنَأْكُلُ الْمَيْتَةَ وَنَأْتِي الْفَوَاحِشَ، وَنَقْطَعُ الْأَرْحَامَ، وَنُسِيءُ الْجِوَارَ يَأْكُلُ الْقَوِيُّ مِنَّا الضَّعِيفَ، فَكُنَّا عَلَى ذَلِكَ حَتَّى بَعَثَ اللهُ إِلَيْنَا رَسُولًا مِنَّا نَعْرِفُ نَسَبَهُ، وَصِدْقَهُ، وَأَمَانَتَهُ، وَعَفَافَهُ، ” فَدَعَانَا إِلَى اللهِ لِنُوَحِّدَهُ، وَنَعْبُدَهُ، وَنَخْلَعَ مَا كُنَّا نَعْبُدُ نَحْنُ وَآبَاؤُنَا مِنْ دُونِهِ مِنَ الحِجَارَةِ وَالْأَوْثَانِ، وَأَمَرَنَا بِصِدْقِ الْحَدِيثِ، وَأَدَاءِ الْأَمَانَةِ، وَصِلَةِ الرَّحِمِ، وَحُسْنِ الْجِوَارِ، وَالْكَفِّ عَنِ الْمَحَارِمِ، وَالدِّمَاءِ، وَنَهَانَا عَنِ الْفَوَاحِشِ، وَقَوْلِ الزُّورِ، وَأَكْلِ مَالَ الْيَتِيمِ، وَقَذْفِ الْمُحْصَنَةِ، وَأَمَرَنَا أَنْ نَعْبُدَ اللهَ وَحْدَهُ لَا نُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا، وَأَمَرَنَا بِالصَّلاةِ، وَالزَّكَاةِ، وَالصِّيَامِ

“Wahai Sang Raja, kami dahulu pelaku jahiliyah, kami menyembah berhala, kami memakan bangkai, kami melakukan perbuatan-perbuatan tidak senonoh, memutuskan silaturrahmi, bersikap buruk kepada tetangga, yang kuat dari kami memakan yang lemah, kami terus dalam kondisi demikian hingga Allah mengutus kepada kami seorang Rasul dari kami, yang kami mengerti akan nasabnya, kejujurannya, amanahnya, dan sikap menjaga harga dirinya. Lalu ia menyeru kami kepada Allah agar kami mentauhidkanNya dan menyembahNya, dan meninggalkan apa yang telah disembah oleh kami dan nenek moyang kami selain Allah berupa batu dan berhala. Ia memerintahkan kami untuk jujur dalam berkata, melarang kami untuk melakukan perbuatan tidak senonoh, perkataan dusta, memakan harta anak yatim, menuduh wanita baik-baik, dan memerintahkan kami untuk menyembah Allah semata dan tidak mensekutukanNya dengan sesuatu apapun, dan memerintahkan kami untuk shalat, membayar zakat, dan puasa” (HR Ahmad no 1740 dengan sanad yang hasan)

Kemudian agar seseorang benar-benar termotivasi untuk mempelajari hakikat kesyirikan dan jenis-jenisnya maka sangat perlu seseorang mengetahui akan bahaya kesyirikan dan bahwasanya kesyirikan adalah kedzaliman yang terbesar dan bahaya yang paling berbahaya. Karenanya penulis membuat bab ini, “Bab Takut Kepada Syirik”. Penulis tidak berkata, “Bab meninggalkan syirik” akan tetapi penulis berkata, “Takut kepada syirik”, karena yang dituntut oleh syari’at bukan hanya meninggalkan syirik tapi lebih dari itu yaitu menjauhi syirik sejauh-jauhnya, yaitu dengan takut kepada syirik. Maka seluruh perkara yang bisa mengantarkan kepada kesyirikan maka hendaknya dijauhi karena ada rasa takut kepada kesyirikan.

([2]) Syirik secara bahasa artinya sekutu, dan makna syirik secara syar’i adalah :

اِتِّخَاذُ النِّدِّ مَعَ اللهِ

“Mengambil tandingan bagi Allah”

Definisi ini mencakup syirik besar dan syirik kecil, dan definisi ini lebih sesuai dengan lafal-lafal syar’i yang datang dalam dalil-dalil. Seperti firman Allah :

فَلَا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا

“Maka janganlah kalian menjadikan bagi Allah tandingan-tandingan” (QS. Al-Baqarah : 22)

Sesuai dengan sabda Nabi kepada sahabat yang berkata مَا شَاءَ اللهُ وَشِئْتَ “Berdasarkan kehendak Allah dan kehendakmu” :

أَجَعَلْتَنِي للهِ نِدًّا

“Apakah engkau menjadikan aku tandingan bagi Allah?” (HR Al-Bukhari di al-Adab al-Mufrod no 783)

Dalam riwayat yang lain Nabi bersabda :

أجَعَلْتَنِي للهِ عِدْلاً

“Apakah engkau menjadikan aku imbangan bagi Allah?” (HR An-Nasai dalam as-Sunan al-Kubro no 10579 dan Ahmad no 1839)

Sesuai juga dengan sabda Nabi tatkala ditanya tentang dosa terbesar?

أَنْ تَجْعَلَ لِلّهِ نِدًّا وَهُوَ خَلَقَكَ

“Yaitu engkau menjadikan sekutu (tandingan) bagi Allāh Subhānahu wa Ta’āla padahal Dia yang menciptakanmu.” (HR Al-Bukhari no 4477 dan Muslim no 86)

Dan makna an-Nid adalah sebagaimana perkataan Ibnu Abbas : الأَنْدَادُ الأَشْبَاهُ yaitu an-Nid maknanya asy-Syabiih yaitu yang serupa. Dan kata-kata yang semakna dengan النِّدُّ adalah الشَّبِيْهُ والْمِثْلُ والْعِدْلُ وَالْكُفْءُ, dan lafal-lafal inilah yang dinafikan dalam nash-nash yang berkaitan dengan kesyirikan. Seperti firman Allah

فَلَا تَضْرِبُوا لِلَّهِ الْأَمْثَالَ إِنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

“Maka janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah. Sesungguhnya Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui” (QS. An-Nahl : 74)

وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ

dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia” (QS. Al-Ikhlas : 4)

Sebagian ulama mengungkapan definisi syirik ini dengan ungkapan lain yaitu :

تَسْوِيَةُ الْمَخْلُوْقِ بِالْخَالِقِ فِيْمَا هُوَ مِنْ خَصَائِصِ الْخَالِقِ فِي رُبُوْبِيَّتِهِ أَوْ أُلُوْهِيَّتِهِ أَوْ أَسْمَائِهِ وَصِفَاتِهِ

“Menyamakan makhluk dengan Pencipta pada perkara-perkara yang merupakan kekhususan Pencipta, baik dalam rububiyahNya atau uluhiyahNya atau nama-nama dan sifat-sifatNya”

Kata syirik sendiri –secara bahasa- memberi isyarat bahwa sang musyrik juga menyembah Allah, hanya saja ia juga menyembah kepada selain Allah, sehingga menjadikannya tandingan bagi Allah. As-Shon’aani berkata:

وَلَفْظُ الشَّرِيْكِ يُشْعِرُ بِالإِقْرَارِ بِاللهِ تَعَالَى

“Dan lafal syarik menunjukkan pengakuan terhadap Allah” (Tathiirul I’tiqood ‘an Adroon al-Ilhaad hal 50)

([3]) Pada bab ini penulis menyebutkan 5 dalil :

Dalil Pertama : Firman Allah :

إِنَّ اللَّـهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَاءُ

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya”. (QS. An Nisa’: 48)

Ayat ini menjelaskan akan bahaya kesyirikan, sebab rahmat Allah sangat luas meliputi segala sesuatu, kecuali orang musyrik. Ampunan Allah begitu luas bagi pelaku dosa, kecuali bagi orang musyrik. Allah mengkhabarkan tentang diriNya bahwa Ia tidak akan mengampuni dosa kesyirikan, adapun dosa-dosa yang lain –sebesar apapun- masih memungkinkan untuk diampuni sesuai dengan kehendak Allah. Dan kesyirikan tidak bisa dihindari dengan sempurna kecuali disertai dengan rasa takut terhadap kesyirikan.

Syirik merupakan dosa terbesar,

وَعَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ رضي الله عنه قَالَ: سَأَلْتُ رَسُوْلَ اللَّهِ صلى الله عليه و سلم : أَيُّ الذَّنْبِ أَعْظَمُ؟ قَالَ: “أَنْ تَجْعَلَ لِلّهِ نِدًّا وَهُوَ خَلَقَكَ

Dari Ibnu Mas‘ūd radhiallahu ‘anhu, beliau berkata, “Aku bertanya kepada Rasūlullāh shallallahu ‘alaihi wa sallam“Dosa apa yang paling besar?” Rasūlullāh shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Yaitu engkau menjadikan sekutu (tandingan) bagi Allāh Subhānahu wa Ta’āla padahal Dia yang menciptakanmu.” (HR Al-Bukhari no 4477 dan Muslim no 86)

Syirik merupakan dosa terbesar karena Allāh Subhānahu wa Ta’āla -lah yang menciptakan engkau. Sebagaimana hanya Allāh Subhānahu wa Ta’āla yang menciptakan engkau, menciptakan alam semesta, maka Dialah Yang Maha Esa, satu-satunya yang hendaknya diibadahi. Maka, sungguh tidak logis jika engkau diciptakan oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla tetapi kemudian engkau ikut menyembah selain Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Dan syirik akbar dikatakan merupakan dosa yang paling besar karena dia mendatangkan berbagai macam kebinasaan, yaitu:

  • Musibah pertama, orang yang melakukan syirik akbar maka seluruh amalan yang dia kerjakan selama ini akan gugur.

Sebagaimana Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman:

لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Jika engkau (wahai Muhammad) berbuat kesyirikan, maka akan gugur seluruh amalanmu dan engkau benar-benar akan termasuk orang yang merugi.” (QS. Az-Zumār: 65)

Firman Allāh ini khitab (pembicaraan)-nya ditujukan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, demikian juga dikatakan kepada seluruh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kata Allāh Subhānahu wa Ta’āla,

وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Kalau mereka (yaitu para Nabi seluruhnya) berbuat kesyirikan,  maka akan gugur seluruh amalan mereka.” (QS. Al-An’ām: 88)

Apalagi yang selain para Nabi jika melakukan kesyirikan, maka tanpa ragu seluruh amalannya akan terhapuskan. Maka sungguh merugi jika seseorang yang telah beribadah, misalnya selama 60 tahun atau 50 tahun, beribadah dalam waktu yang lama, mungkin dia berhaji, umrah, bersedekah, berbakti kepada orang tua dan beribadah dengan berbagai macam modelnya.

Kemudian di akhir hayatnya, dia terjerumus ke dalam kesyirikan, misalnya berdoa kepada selain Allāh atau menyembelih kepada selain Allāh, kemudian meninggal di atas kesyirikan tersebut, maka seluruh amalannya akan gugur, digugurkan oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla, tidak bernilai sama sekali.

Namun jika ia melakukan kesyirikan akbar lalu bertaubat sebelum meninggal maka amalannya tidaklah gugur, karena Allah mempersyaratkan gugurnya amalan jika meninggal dalam kondisi syirik. Allah berfirman

وَمَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُولَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ

Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya (QS. Al-Baqarah : 217)

  • Musibah kedua, orang yang melakukan syirik akbar maka tidak akan diampuni dosa-dosanya.

Seseorang yang jika meninggal dunia dalam kondisi melakukan dosa besar, misalnya ada orang yang meninggal dalam kondisi mencuri atau sedang berzina tiba-tiba meninggal, wal iyyādzubillāh, orang ini masih ada kemungkinan untuk dimaafkan oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla di akhirat. Kenapa? Karena dia tidak terjerumus dalam syirik akbar.

Berbeda kalau dia meninggal dalam kondisi syirik akbar (syirik besar), maka mustahil akan diampuni oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla, karena Allāh yang menyatakan demikian. Allāh mengatakan,

“Sesungguhnya Allāh tidak akan mengampuni dosa kesyirikan, dan Allāh mengampuni dosa-dosa selain kesyirikan, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS. An-Nisā: 48)

Kalau seandainya dosa syirik bisa diampuni, maka Abū Thālib (paman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) yang berhak untuk diampuni. Kenapa? Karena Abū Thālib di masa hidupnya sejak awal dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah membela dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia rela mati untuk membela keponakannya yaitu Rasūlullāh shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Rasūlullāh shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat sayang kepada pamannya. Dan tatkala pamannya akan meninggal dunia, Rasūlullāh r menasehatinya dengan mengatakan, “Wahai pamanku, ucapkanlah laa ilaaha illallahu, kalimat yang aku akan bela engkau di akhirat kelak.” Akan tetapi pamannya enggan untuk mengucapkan laa ilaaha iallallahu, sehingga meninggal dalam kesyirikan. Tatkala Rasūlullāh shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin memohonkan ampunan bagi pamannya, maka ditegur oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla,

مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ

 “Tidak pantas bagi Nabi dan juga tidak pantas bagi kaum mukminin untuk memohonkan ampunan (kepada Allāh) bagi orang-orang musyrik, meskipun (orang-orang musyrik itu adalah) kaum kerabat, setelah jelas bagi mereka (bahwasanya orang-orang musyrik itu) adalah penghuni neraka Jahannam.” (QS. At-Taubah: 113)

Maka, jika Abū Thālib yang memiliki jasa begitu besar terhadap Islam tidak diampuni oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla, maka bagaimana lagi dengan selainnya? Oleh karenanya, seorang yang meninggal dalam keadaan musyrik tidak ada kemungkinan untuk diampuni oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla di akhirat kelak. Kenapa? Karena dia telah melakukan dosa yang sangat besar.

Dosa-dosa lain seperti zina, merampok, membunuh, durhaka kepada orang tua, itu semua berkaitan dengan hak hamba. Berbeda dengan syirik. Sirik adalah berkaitan dengan hak Allāh Subhānahu wa Ta’āla. Seharusnya hanya Allāh yang diibadahi karena Allāh yang menciptakan dia. Selain beribadah kepada Allāh, dia juga beribadah kepada selain Allāh (beribadah kepada sesama makhluk). Maka ini merupakan dosa yang paling besar dan tidak diampuni olah Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

  • Musibah Ketiga, orang yang meninggal dalam kondisi syirik akbar, mustahil akan masuk kedalam surga. Dia akan kekal dalam neraka Jahannam selama-lamanya. Kata Allāh Subhānahu wa Ta’āla,

إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ

“Sesungguhnya orang yang berbuat kesyirikan, maka pasti Allāh mengharamkan baginya surga, dan tempat kembalinya adalah neraka jahannam, tidaklah ada bagi orang-orang zhālim itu seorang penolongpun.” (QS. Al-Maidah: 72)

Oleh karenanya, orang musyrik tidak akan masuk surga , kecuali kalau onta bisa dimasukkan ke dalam lubang jarum. Kata Allāh Subhānahu wa Ta’āla,

إِنَّ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا وَاسْتَكْبَرُوا عَنْهَا لَا تُفَتَّحُ لَهُمْ أَبْوَابُ السَّمَاءِ وَلَا يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّى يَلِجَ الْجَمَلُ فِي سَمِّ الْخِيَاطِ وَكَذَلِكَ نَجْزِي الْمُجْرِمِينَ

“Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan sombong terhadap ayat-ayat Kami, sekali-kali tidak akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit dan mereka tidak akan masuk ke dalam surga, sampai unta (yang begitu besar) bisa dimasukkan ke dalam lobang jarum.” (QS. Al-A’rāf: 40)

Ini merupakan kemustahilan, maka seorang yang meninggal dalam syirik akbar tidak akan diampuni oleh Allāh, seluruh pahalanya sia-sia dan tidak akan dimasukkan ke dalam surga. Semoga Allāh melindungi kita dari dosa-dosa kesyirikan.

Terjadi khilaf di kalangan para ulama apakah syirik kecil juga tidak diampuni berdasarkan keumuman ayat 48 dari surat An-Nisa. Sebagian ulama memandang bahwa ayat ini mencakup syirik kecil. Ibnu Taimiyyah berkata :

وَقَدْ يُقَالُ الشِّرْكُ لاَ يُغْفَرُ مِنْهُ شَيْءٌ لاَ أَكْبَرُ وَ لاَ أَصْغَرُ عَلَى مُقْتَضَى عُمُوْمِ الْقُرْآنِ وَإِنْ كَانَ صَاحِبُ الشِّرْكِ الأَصْغَرِ يَمُوْتُ مُسْلِمًا لَكِنَّ شِرْكَهُ لاَ يُغْفَرُ لَهُ بَلْ يُعَاقَبُ عَلَيْهِ وَإِنْ دَخَلَ بَعْدَ ذَلِكَ الْجَنَّةَ

“Dan bisa jadi dikatakan bahwa kesyirikan tidak diampuni sama sekali, baik syirik besar maupun syirik kecil, berdasarkan keumuman ayat al-Qur’an. Meskipun pelaku syirik kecil meninggal dalam kondisi mulsim, akan tetapi syirik (kecil) nya tidaklah diampuni, dan ia dihukum karenanya, meskipun setelah itu ia masuk surga” (Ar-Rod ‘ala Al-Bakri 1/301)

Maksud dari syirik kecil tidak akan diampuni adalah (1) ia harus diletakkan dalam timbangan keburukan. Atau (2) maknanya harus diadzab, namun tentunya adzab yang tidak kekal. Hal ini berbeda dengan dosa-dosa besar yang lainnya, yang masih memungkinkan untuk diampuni oleh Allah meski pelakunya meninggal dalam kondisi belum bertaubat darinya.

Namun pendapat yang kuat bahwa yang tidak diampuni hanyalah syirik akbar. Meskipun lafal kesyirikan dalam ayat termasuk lafal umum (nakiroh dalam konteks syarat) namun ini adalah العَامُّ يَرَادُ بِهِ الْخَاصُّ (lafal umum namun maksudnya khusus). Hal ini semisal firman Allah

أَمْ يَحْسُدُونَ النَّاسَ عَلَى مَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ

ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad) lantaran karunia yang Allah telah berikan kepadanya? (QS. An-Nisaa’ : 54)

Lafal النَاسَ (manusia) adalah lafal umum, akan tetapi maksud ayat ini adalah khusus Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Demikian juga sebagaimana telah lalu firman Allah :

الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ

Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik) (Al-An’aam : 82)

Lafal ظُلْمٍ (kezaliman) adalah lafal yang umum karena nakiroh dalam kontkes penafian, akan tetapi maksudnya adalah khusus kesyirikan.

Maka demikian juga lafal  أَنْ يُشْرَكَ بِهِdalam ayat 48 dan ayat 116 surat An-Nisaa adalah lafal umum tapi maksudnya khusus syirik akbar dan tidak mencakup syirik kecil. Dalil akan hal ini sebagai berikut :

Pertama : Lafal syirik digunakan dalam al-Qur’an kebanyakannya adalah tentang syirik akbar. Maka kita membawakan lafal syirik dalam ayat ini juga kepada penggunaan yang biasanya, yaitu untuk syirik akbar.

Kedua : Konteks surat An-Nisa ayat 48 –jika diperhatikan sebelumnya- adalah berkaitan dengan ahlul kitab para pelaku syirik akbar. Allah berfirman sebelumnya :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ آمِنُوا بِمَا نَزَّلْنَا مُصَدِّقًا لِمَا مَعَكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَطْمِسَ وُجُوهًا فَنَرُدَّهَا عَلَى أَدْبَارِهَا أَوْ نَلْعَنَهُمْ كَمَا لَعَنَّا أَصْحَابَ السَّبْتِ وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ مَفْعُولًا

Hai orang-orang yang telah diberi Al Kitab, berimanlah kamu kepada apa yang telah Kami turunkan (Al Quran) yang membenarkan Kitab yang ada pada kamu sebelum Kami mengubah muka(mu), lalu Kami putarkan ke belakang atau Kami kutuki mereka sebagaimana Kami telah mengutuki orang-orang (yang berbuat maksiat) pada hari Sabtu. Dan ketetapan Allah pasti berlaku (QS. An-Nisaa : 47)

Ketiga : Ayat ini diakhiri dengan firman Allah :

وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا

Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar (QS. An-Nisaa : 48)

وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا

Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya (QS. An-Nisaa : 116).

Ancaman di akhir kedua ayat di atas menunjukkan hanya untuk syirik akbar (besar).

Keempat : Sebab nuzul ayat ini menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan syirik dalam ayat hanyalah syirik besar. Ibnu Umar berkata

كُنَّا نُوجِبُ لأَهْلِ الْكَبَائِرِ النَّارَ حَتَّى نَزَلَتْ هَذِهِ الآيَةُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:{إِنَّ اللَّهَ لا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ}، فنهانا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نُوجِبَ لأَحَدٍ مِنْ أهل الدين النار

“Kami dahulunya memastikan pelaku dosa besar masuk neraka, hingga turun ayat ini kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam (Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa kesyirikan dan mengampuni selain syirik bagi yang Allah kehendaki). Maka Rasulullahpun melarang kami untuk memastikan seorangpun yang Islam masuk neraka” (As-Sunnah karya Ibnu Abi ‘Ashim no 973 dan sanadnya dinilai baik oleh Al-Albani)

Dalam riwayat yang lain, Ibnu Umar berkata :

مَا زِلْنَا نُمْسِكُ عَنِ الاسْتِغْفَارِ لأَهْلِ الْكَبَائِرِ حَتَّى سَمِعْنَا مِنْ فِي نَبِيِّنَا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: “إِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى لا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ”

“Kami terus tidak memohonkan istghfar bagi pelaku dosa besar hingga kami mendengar dari mulut Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam (Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa kesyirikan dan mengampuni selain syirik bagi yang Allah kehendaki)” (As-Sunnah karya Ibnu Abi ‘Ashim no 830 dan dihasankan oleh Al-Albani)

Hadits ini menunjukkan bahwa jika ada pelaku dosa besar yang meninggal dalam kondisi syirik akbar maka boleh dipastikan masuk neraka, dan tidak boleh dimohonkan istighfar baginya. Adapun selain itu maka boleh dimohon ampunkan dan tidak boleh dipastikan masuk neraka. Tentu para ulama sepakat bahwa orang yang meninggal dalam kondisi melakukan syirik kecil tidak boleh dipastikan masuk neraka dan tentu boleh dimohon ampunkan untuknya. Ini menunjukkan bahwa ayat hanya mencakup syirik besar saja.

Dan ini adalah pendapat para ahli tafsir seperti Ibnu Jarir At-Thobary, al-Qurthubi, Ibnu Katsir, dan Muhammad al-Amiin asy-Syinqithy (Lihat Adhwaaul Bayaan 5/45), bahkan ini merupakan pendapat seluruh ahli tafsir, tidak seorangpun dari ahli tafsir yang menyatakan bahwa ayat 48 (dari surat An-Nisaa) mencakup syirik kecil.

Ayat ini juga merupakan bantahan terhadap khawarij –yang mengatakan bahwa pelaku dosa besar kafir dan pasti kekal dalam neraka- dan mu’tazilah –yang mengatakan bahwa pelaku dosa besar di dunia fi manzilah baina manzilatain dan di akhirat kekal di neraka-

([4])Dalil Kedua : tentang doa nabi Ibrahim ‘alaihis salam agar ia dan keturunannya dijauhkan dari kesyirikan. Dan telah lalu penjelasan bahwa Ibrahim adalah ummah (imam dan qudwah) yang telah memurnikan tauhid.

Sisi pendalilan : Jangan sampai seseorang merasa telah bertauhid sementara ia tidak takut akan kesyirikan. Jika Nabi Ibrahim takut akan terjerumus dalam kesyirikan –padahal ia yang telah menghancurkan berhala dengan kedua tangannya, dan ia juga yang telah mendebat para penyembah berhala dan para penyembah benda-benda langit dengan hujjah yang sangat kuat-, lantas bagaimana lagi dengan kita?. Orang-orang yang beriman berdoa :

رَبَّنَا لا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا

“Ya Tuhan kami, janganlah Engkau menjadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami” (QS. Ali ‘Imron : 8).

Lihatlah mereka memohon kepada Allah agar tidak menyimpang, kapan?, justru setelah mereka mendapatkan hidayah.

Oleh karenanya merupakan perkara yang aneh jika Ibrahim ‘alaihis salam kawatir dirinya dan keturunannya terjerumus dalam kesyirikan, sementara sebagian orang dengan begitu menggampangkannya tinggal di tengah-tengah orang kafir tanpa ada kondisi darurat. Jika ia bisa menghindarkan diri dari kesyirikan lantas bagaimana dengan anak-anaknya?, jika merekapun bisa terhindar dari kesyirikan lantas bagaimana dengan pergaulan mereka?

Ibrahim At-Taimi rahimahullah berkata :

مَنْ يَأْمَنُ مِنَ الْبَلَاءِ بَعْدَ خَلِيلِ اللَّهِ إِبْرَاهِيمَ، حِينَ يَقُولُ: {رَبِّ وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ الْأصْنَامَ}

“Dan siapakah yang merasa aman dari bencana setelah kekasih Allah Ibrahim tatkala beliau berkata, “Ya Robb jauhkanlah aku dan anak keturunanku dari menyembah berhala” (Tafsir At-Thabari 13/687)

Syaikh Shalih Alu Syaikh berkata, “Realitanya kebanyakan orang tidak takut kepada kesyirikan. Kalau begitu siapakah yang sebenarnya takut kepada syirik?. Yang takut kesyirikan adalah yang berusaha untuk memurnikan tauhidnya’ (At-Tamhiid hal 50)

Nabi Ibrahim berdoa agar dijauhkan dari الأَصْنَام, dan الأَصْنَامُ adalah kata jamak dari الصَّنَمُ. Dan الصَّنَمُ adalah sesembahan yang dibuat dalam bentuk manusia atau bentuk yang lain. Adapun الأَوْثَانُ  (jamak dari الوَثَنُ) adalah seembahan yang tidak berbentuk seperti kuburan yang disembah, atau kubah, atau pohon, atau batu besar tanpa bentuk, dll. Karenanya Nabi berdoa :

اللَّهُمَّ لاَ تَجْعَلْ قَبْرِى وَثَناً، لَعَنَ الله قَوْماً اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ

“Ya Allah janganlah Engkau jadikan kuburanku berhala, Allah melaknat suatu kaum yang menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai masjid” (HR Ahmad no 7358 dengan sanad yang shahih)

Akan tetapi dalam ayat yang lain Allah berfirman tentang perkataan Ibrahim kepada kaumnya ;

إِنَّمَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَوْثَانًا وَتَخْلُقُونَ إِفْكًا

Sesungguhnya apa yang kamu sembah selain Allah itu adalah berhala, dan kamu membuat dusta. (QS. Al-Ankabut : 17)

Maka para ulama menyatakan, (1) bisa jadi kaum Ibrahim sebagian ada yang menyembah الصَّنَمُ dan sebagian yang lain menyembah الوَثَنُ, atau (2) lafal الوَثَنُ lebih umum, mencakup sesembahan yang berbentuk maupun yang tidak berbentuk, atau (3) terkadang disebutkan الوَثَنُ tapi maksudnya adalah الصَّنَمُ, namun ini sedikit penggunaannya.

Faidah dari ayat ini :

Pertama : Takut akan kesyirikan

Kedua : Disyariatkannya berdoa untuk diri sendiri dan juga anak keturunan agar terjauhkan dari kesyirikan

Ketiga : Bantahan terhadap sebagian orang jahil yang menyatakan tidak akan terjadi kesyirikan pada umat ini. Jika Ibrahim saja kawatir akan dirinya dan keturunannya maka bagaimana lagi dengan yang lain?. Kenyataan juga menunjukkan bahwa pernyataan ini adalah batil

([5])Dalil Ketiga : Sisi pendalilannya bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengkhawatirkan para sahabat terjerumus ke dalam syirik kecil, padahal iman para sahabat begitu tinggi, maka bagaimana lagi dengan kita?.

Hadits ini selengkapnya sebagai berikut :

إِنَّ أَخْوَفَ ما أَخَافُ عَلَيْكُمُ الشِّرْكُ الأَصْغَرُ قالوا وما الشِّرْكُ الأَصْغَرُ يا رَسُولَ اللَّهِ قال الرِّيَاءُ يقول الله عز وجل لهم يوم الْقِيَامَةِ إذا جُزِىَ الناس بِأَعْمَالِهِمْ اذْهَبُوا إلى الَّذِينَ كُنْتُمْ تراؤون في الدُّنْيَا فَانْظُرُوا هل تَجِدُونَ عِنْدَهُمْ جَزَاءً

“Sesungguhnya perkara yang paling aku khawatirkan menimpa kalian adalah syirik kecil”, mereka (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, apa itu syirik kecil?”, beliau berkata, “Riyaa’, pada hari kiamat tatkala manusia dibalas amal perbuatan mereka maka Allah berkata kepada orang-orang yang riyaa’, “Pergilah kaliah kepada orang-orang yang dahulu kalian riyaa’ kepada mereka (mencari pujian mereka -pen) semasa di dunia, maka lihatlah apakah kalian akan mendapatkan ganjaran kalian dari mereka?” (HR Ahmad dalam musnadnya 5/428 no 23680, dihasankan oleh Ibnu Hajar dalam Bulugul Marom dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam As-Shahihah no 951. Hadits ini merupakan riwayat Mahmud bin Labid, seorang sahabat, ia melihat Nabi akan tetapi tidak sah periwayatannya dari Nabi, seluruh periwatannya dari sahabat yang lain. Karenanya hadits ini termasuk mursal shahabiy, akan tetapi mursal shahabiy hukumnya shahih karena yang dijatuhkan juga sahabat yang lain, dan seluruh sahabat adil)

Hadits ini merupakan nash yang tegas akan pembagian syirik menjadi dua, syirik besar dan syirik kecil. Apakah yang dimaksud dengan syirik kecil?

Sebagian ulama berpendapat bahwa syirik kecil adalah :

جَمِيْعُ الأَقْوَالِ وَالأَفْعَالِ الَّتِي يُتَوَسَّلُ بِهَا إِلَى الشِّرْكِ الأَكْبَرِ

“Seluruh perkataan dan perbuatan yang mengantarkan kepada syirik besar” (Al-Qoul As-Sadidi, karya As-Sa’di hal 32)

Namun definisi ini dikritik oleh sebagian ulama, karena ada perkara-perkara yang bisa mengantarkan kepada syirik besar namun bukan merupakan syirik kecil, seperti bertawassul dengan dzat orang-orang shalih, berdoa kepada Allah di kuburan orang shalih, dan pengkultusan kepada orang-orang shalih (selama tidak sampai pada derajat ibadah), ini semua merupakan bid’ah dan bukan syirik. Dan jenis syirik tentu lebih berbahaya dari jenis bid’ah.

Sebagian ulama mendefinisikan syirik kecil dengan lebih ketat, yaitu :

كُلُّ مَا جَاءَتِ النُّصُوْصُ بِتَسْمِيَتِهُ شِرْكاً وَدَلَّتِ الدَّلاَئِلُ عَلَى أَنَّهُ لَيْسَ مُخْرِجًا مِنَ الْمِلَّةِ (أي لَمْ يَصِلْ إِلَى حَدِّ الشِّرْكِ الأَكْبَرِ)

“Semua perkara yang dinamakan oleh nash-nash sebagai syirik, akan tetapi dalil-dalil menunjukkan bahwa perkara tersebut tidaklah mengeluarkan pelakunya dari Islam (yaitu derajatnya tidak sampai syirik akbar)”

Definisi ini hanya membatasi syirik kecil pada contoh-contoh yang datang dalam dalil-dalil, seperti riya’, bersumpah dengan nama selain Allah, tathoyyur, memakai jimat, dan mengatakan “Atas kehendak Allah dan kehendakmu”. Pendapat ini lebih kuat dan lebih berkaidah. Dan inilah pendapat yang dipilih oleh Al-Lajnah Ad-Daimah (Fatawa al-Lajnah Ad-Daimiah 1/517)

Sebagian ulama menambah pembagian syirik jenis ketiga, yaitu syirik khofiy (syirik yang samar). Akan tetapi sebenarnya syirik khofiy telah masuk ke dalam syirik besar atau syirik kecil, karena syirik besar ada yang khofiy sebagaimana syirik kecilpun demikian.

Adapun perbedaan antara syirik besar dan syirik kecil :

  1. Syirik akbar menghapuskan seluruh amal, sedang syirik kecil hanya menghapuskan amal yang disertainya saja.
  2. Syirik akbar mengakibatkan pelakunya kekal di dalam neraka, sedang syirik kecil tidak sampai demikian.
  3. Syirik akbar menjadikan pelakunya keluar dari Islam, sedang syirik kecil tidak menyebabkan keluar dari Islam

Riya’ artinya beramal shalih untuk dilihat oleh orang lain. Dan riyaa’ terbagi menjadi dua

Pertama : Riya’ nya orang-orang munafik, dimana riya mereka berkaitan dengan pokok agama mereka, yaitu mereka menampakan Islam kepada manusia sementara hati mereka menyembunyikan kekafiran

Kedua : Riya’ nya seorang muslim yang bertauhid, seperti memperbagus shalatnya agar dilihat dan dipuji orang lain, menampakan sedekahnya, memperindah tilawah qur’annya, memperbagus ceramahnya, dll.

Kondisi amalan seseorang yang tercampur riya’ bisa dalam beberapa kondisi :

  • Sejak awal niatnya memang untuk dipuji. Sebelum shalat, atau sebelum berdakwah, atau sebelum umrah dan haji memang niatnya untuk dipuji. Maka amalnya terhapus secara total dari awal hingga akhir.
  • Riya’nya muncul di tengah ibadah, namun ia berusaha melawan dan mengusir riya’ tersebut. Jika ia berhasil maka amalnya selamat, bahkan bisa jadi ia mendapat pahala tambahan karena berusaha melawan maksiat.
  • Jika ia tidak berhasil menolak riya yang muncul di tengah amalnya tersebut, maka ada khilaf di kalangan para ulama. Sebagian ulama memandang jika amalnya merupakan satu kesatuan (seperti shalat, yang rakaat pertama berkaitan dengan rakaat-rakaat berikutnya) maka amalnya gugur. Sebagian ulama yang lainnya berpendapat bahwa amalnya tetap berpahala karena dibangun di atas keikhlasan. Ini adalah pendapat yang dirajihkan oleh Al-Imam Ahmad, Ibnu Jarir at-Thabari dan diriwayatkan dari Hasan Al-Bashri (lihat Jami’ul Ulum wal Hikam 1/83-84)
  • Jika riya’ nya muncul setelah amal selesai, dimana ia menceritakan kepada orang lain tentang amal shalihnya agar dipuji, maka pada hakekatnya ini adalah dosa tersendiri dan tidak ada kaitannya dengan amal yang telah lewat. Namun Ibnul Qoyyim rahimahullah (dalam kitabnya al-wabil as-shoyyib) berpendapat bahwa amal tetap saja gugur meskipun riya’nya muncul setelah selesai beramal.

([6]) Dalil Keempat :  Orang yang mati dalam kondisi berdoa kepada selain Allah maka akan masuk neraka.

Sesungguhnya doa merupakan ibadah yang sangat penting, karena pada doa nampaklah kerendahan dan ketundukan orang yang berdoa kepada dzat yang ditujukan doa. Pantas saja jika Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda :

الدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةُ ثُمَّ قَرَأَ : {وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ}.

“Doa itulah ibadah”, kemudian Nabi shallallahu alaihi wasallam membaca firman Allah ((Dan Robb kalian berkata : Berdoalah kepadaKu niscaya Aku kabulkan bagi kalian))” (HR Ahmad no 18352, Abu Dawud no 1481, At-Tirmidzi no 2969, Ibnu Maajah no 3828, dan isnadnya dinyatakan jayyid (baik) oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Baari 1/49)

Ibnu Hajar berkata menjelaskan agungnya ibadah doa

أَنَّ الدُّعَاءَ مِنْ أَعْظَمِ الْعِبَادَةِ فَهُوَ كَالْحَدِيثِ الْآخَرِ الْحَجُّ عَرَفَةُ أَيْ مُعْظَمُ الْحَجِّ وَرُكْنُهُ الْأَكْبَرُ وَيُؤَيِّدُهُ مَا أَخْرَجَهُ التِّرْمِذِيُّ مِنْ حَدِيثِ أَنَسٍ رَفَعَهُ الدُّعَاءُ مُخُّ الْعِبَادَةِ وَقَدْ تَوَارَدَتِ الْآثَارُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالتَّرْغِيبِ فِي الدُّعَاءِ وَالْحَثِّ عَلَيْهِ كَحَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ رَفَعَهُ لَيْسَ شَيْءٌ أَكْرَمَ عَلَى اللَّهِ مِنَ الدُّعَاءِ أَخْرَجَهُ التِّرْمِذِيُّ وبن ماجة وَصَححهُ بن حبَان

“Jumhur (mayoritas ulama) menjawab bahwasanya doa termasuk ibadah yang paling agung, dan hadits ini seperti hadits yang lain

الْحَجُّ عَرَفَةُ

“Haji adalah (wuquf di padang) Arofah”

Maksudnya (wuquf di Arofah) merupakan dominannya haji dan rukun haji yang paling besar.  Hal ini dikuatkan dengan hadits yang dikeluarkan oleh At-Thirimidzi dari hadits Anas secara marfuu’ :

الدُّعَاءُ مُخُّ الْعِبَادَةِ

“Doa adalah inti ibadah”

Telah banyak hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memotivasi dan mendorong untuk berdoa, seperti hadits Abu Huroiroh yang marfuu’:

لَيْسَ شَيْئٌ أَكْرَمَ عَلَى اللهِ مِنَ الدُّعَاءِ

“Tidak ada sesuatupun yang lebih mulia di sisi Allah daripada doa”

Diriwayatkan oleh At-Thirmidzi dan Ibnu Maajah dan dishahihkan oleh Ibnu Hibbaan” (Fathul Baari 11/94)

Al-Halimi (wafat tahun 403 H) berkata :

كل من سأل ودعا فقد أظهر الحاجة، وباح بها واعترف بالذلة والفقر والفاقة لمن يدعوه ويسأله، فكان ذلك في العبد نظير العبادات التي يتقرب بها إلى الله عز اسمه، ولذلك قال الله عز وجل ((ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ)) فأبان الدعاء عبادةً

“Dan doa secara umum merupakan bentuk ketundukkan dan perendahan, karena setiap orang yang meminta dan berdoa maka ia telah menampakkan hajatnya (kebutuhannya) dan mengakui kerendahan dan kebutuhan kepada Dzat yang ia berdoa kepadanya dan memintanya. Maka hal itu pada hamba seperti ibadah-ibadah yang dilakukan untuk bertaqorrub kepada Allah subhaanahu wa ta’aala. Oleh karenanya Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman ((Berdoalah kepadaku niscaya akan Aku kabulkan, sesungguhnya orang-orang yang sombong dari beribadah kepadaku akan masuk dalam neraka jahannam dalam keadaan terhina)). Maka Allah subhaanahu wa ta’aala menjelaskan bawhasanya doa adalah ibadah” (Al-Minhaaj fai syu’ab Al-Iimaan 1/517)

Ar-Roozi berkata

وَقَالَ الْجُمْهُورُ الْأَعْظَمُ مِنَ الْعُقَلَاءِ: إِنَّ الدُّعَاءَ أَهَمُّ مَقَامَاتِ الْعُبُودِيَّةِ، وَيَدُلُّ عَلَيْهِ وُجُوهٌ مِنَ النَّقْلِ وَالْعَقْلِ، أَمَّا الدَّلَائِلُ النَّقْلِيَّةُ فَكَثِيرَةٌ

“Dan mayoritas orang berakal berkata: Sesungguhnya doa merupakan kedudukan peribadatan yang paling penting, dan hal ini ditunjukkan dari sisi (yang banyak) dari dalil naql (ayat maupun hadits-pen) maupun akal. Adapun dalil naql maka banyak” (Mafaatihul Ghoib 5/105)

Kemudian Ar-Roozi menyebutkan dalil yang banyak, setelah itu kemudian ia berkata :

قَالَ: وَإِذا سَأَلَكَ عِبادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ وَلَمْ يَقُلْ فَقُلْ إِنِّي قَرِيبٌ فَتَدُلُّ عَلَى تَعْظِيمِ حَالِ الدُّعَاءِ مِنْ وُجُوْهٍ الْأَوَّلُ: كَأَنَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى يَقُولُ عَبْدِي أَنْتَ إِنَّمَا تَحْتَاجُ إِلَى الْوَاسِطَةِ فِي غَيْرِ وَقْتِ الدُّعَاءِ أَمَّا فِي مَقَامِ الدُّعَاءِ فَلَا وَاسِطَةَ بَيْنِي وَبَيْنَكَ

“Allah subhanahu wa ta’ala berfirman ((Dan jika hamba-hambaKu bertanya kepadamu (wahai Muhammad) tentang aku maka sesungguhnya aku dekat)), dan Allah subhaanahu wa ta’aala tidak berkata ((Katakanlah aku dekat)), maka ayat ini menunjukkan akan pengagungan kondisi tatkala berdoa dari banyak sisi. Yang pertama, seakan-akan Allah subhaanahu wa ta’aala berkata : HambaKu engkau hanyalah membutuhkan washithoh (perantara) di selain waktu berdoa’ adapun dalam kondisi berdoa maka tidak ada perantara antara Aku dan engkau” (Mafaatihul Goib 5/106)

Lantas bagaimana jika kerendahan dan ketundukkan kondisi seseorang yang sedang berdoa ini diserahkan dan diperuntukkan kepada selain Allah subhaanahu wa ta’aala?, kepada para nabi dan para wali??!!. Bukankah ini merupakan bentuk beribadah kepada selain Allah subhaanahu wa ta’aala alias syirik??!! Jika berdoa kepada Allah merupakan ibadah yang sangat agung maka berdoa kepada selain Allah merupakan bentuk kesyirikan yang sangat agung !!

Penjelasan lafal-lafal hadits :

  • مَنْ (barang siapa), ism syarat, memberikan faidah keumuman. Maka siapa saja yang mati dalam kondisi kesyirikan, tidak pandang bulu, apakah yang mati itu seorang lelaki atau wanita atau raja atau rakyat jelata, atau murid atau ustadz
  • مَاتَ (mati), dan ini mewajibkan kita untuk takut, karena tidak seorangpun diantara kita yang mengetahui kapan dirinya akan meninggal dunia?, terlebih lagi tidak mengetahui bagaimana kondisinya tatkala meninggal dunia?, apakah dalam kondisi bertauhid ataukah dalam kondisi terjerumus dalam kesyirikan?. Betapa banyak orang di pagi hari masih tertawa akan tetapi malamnya masuk dalam liang lahad.
  • وَهُوَ يَدْعُو مِنْ دُوْنِ اللهِ (dalam kondisi berdoa kepada selain Allah). Kata “berdoa” di sini mencakup do’a al-ibadah dan do’a al-mas’alah (permintaan).

Pertama : Do’a al-ibadah mencakup semua ibadah, karena jika seseorang sedang shalat, atau puasa atau ruku’ atau sujud, maka pada hekikatnya kondisinya menunjukkan bahwa ia sedang memohon kepada Allah agar diampuni, diselamatkan dari neraka jahanam, dan dimasukan ke dalam surga. Dan doa ibadah yaitu ibadah itu sendiri, dan memalingkan ibadah kepada selain Allah merupakan kesyirikan.

Kedua : Doa al-mas’alah (permintaan) maka ini sebagaimana doa yang kita kenal yaitu memohon.

  • نِدَّا (sesuatu apapun), nakiroh dalam konteks syarat juga memberikan keumuman, maka mencakup siapapun yang ditujukan kepadanya doa hamba. Baik nabi atau malaikat atau wali atau jin
  • دَخَلَ النَّارَ (masuk neraka), yaitu kekal di dalamnya jika kesyirikan yang dilakukannya adalah syirik akbar.

([7]) Dalil Kelima :  sisi pendalilannya sama dengan hadits Ibnu Mas’ud yang lalu. Karena barangsiapa yang bertemu dengan Allah (yaitu ia meninggal dunia) maka ia akan masuk neraka. Tentu hal ini menjadikan seseorang takut dengan kesyirikan agar ia terhidar dari kesyirikan.

Hendaknya seseorang senantiasa berusaha meningkatkan dan menguatkan tauhidnya agar semakin terjauh dari kesyirikan. Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullah berkata :

فَإِنَّ الإِخْلاَصَ بِطَبِيْعَتِهِ يَدْفَعُ الشِّرْكَ الأَكْبَرَ وَالأَصْغَرَ، وَكُلُّ مَنْ وَقَعَ مِنْهُ نَوْعٌ مِنَ الشِّرْكِ فَلِضَعْفِ إِخْلاَصِهِ

“Sesungguhnya ikhlas secara tabi’atnya akan menolak syirik akbar dan syirik ashghor, dan siapa yang terjerumus dalam bentuk kesyirikan itu dikarenakan lemahnya keikhlasannya” (Al-Qoul As-Sadid hal 32)

([8]) Justru penyakit riya’ memang menyerang orang-orang yang shalih yang sibuk dengan beribadah. Adapun para pelaku kemaksiatan maka apakah yang mau mereka pamerkan dan mereka riya’kan?

Orang-orang shalihlah yang menjadi pusat perhatian masyarakat, yang selalu dipuji oleh masyarakat. Maka merekalah yang dikawatirkan terkena penyakit riyaa’, karena pujian sungguh merupakan ujian yang berat yang sangat mudah menjerumuskan seseorang dalam kubangan riya’.

Rabu, 29 Juli 2020

Penjelasan Kitab Tauhid BAB 3 – Memurnikan Tauhid Menyebabkan Masuk Surga Tanpa Hisab

BAB 3

مَنْ حَقَّقَ التَّوْحِيْدَ دَخَلَ الْجَنَّةَ بِغَيْرِ حِسَابِ

MEMURNIKAN TAUHID MENYEBABKAN MASUK SURGA TANPA HISAB([1])

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

إِنَّ إِبْرَاهِيمَ كَانَ أُمَّةً قَانِتًا لِّلَّـهِ حَنِيفًا وَلَمْ يَكُ مِنَ الْمُشْرِكِينَ

“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif (berpegang teguh pada kebenaran), dan sekali-kali ia bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan).” (QS. An  Nahl: 120). ([2])

وَالَّذِينَ هُم بِرَبِّهِمْ لَا يُشْرِكُونَ

“Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan dengan Rabb mereka (sesuatu apapun)”. (QS. Al Mu’minun: 59). ([3])

Husain bin Abdurrahman berkata: “Suatu ketika aku berada di sisi Sa’id bin Zubair, lalu ia bertanya: “siapa di antara kalian melihat bintang yang jatuh semalam? kemudian aku menjawab: “aku”, kemudian kataku: “ketahuilah, sesungguhnya aku ketika itu tidak sedang melaksanakan shalat, karena aku disengat kalajengking”, lalu ia bertanya kepadaku: “lalu apa yang kau lakukan? aku menjawab: “aku minta diruqyah ([4])”, ia bertanya lagi: “apa yang mendorong kamu melakukan hal itu? aku menjawab: “yaitu: sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Asy Sya’by kepada kami”, ia bertanya lagi: “dan apakah hadits yang dituturkan kepadamu itu? aku menjawab: “dia menuturkan hadits kepada kami dari Buraidah bin Hushaib:

(( لاَ رُقْيَةَ إِلاَّ مِنْ عَيْنٍ أَوْ حُمَةٍ ))

Tidak ada Ruqyah kecuali karena ain ([5]) atau terkena sengatan”. Sa’id pun berkata: “sungguh telah berbuat baik orang yang telah mengamalkan apa yang telah didengarnya, tetapi Ibnu Abbas menuturkan hadits kepada kami dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

(( عُرِضَتْ عَلَيَّ الأُمَمُ، فَرَأَيْتُ النَّبِيَّ مَعَهُ الرَّهْطُ، وَالنَّبِيَّ مَعَهُ الرَّجُلُ وَالرَّجُلاَنِ، وَالنَّبِيَّ وَلَيْسَ مَعَهُ أَحَدٌ، إِذْ رُفِعَ لِيْ سَوَادٌ عَظِيْمٌ، فَظَنَنْتُ أَنَّهُمْ أُمَّتِيْ، فَقِيْلَ لِيْ: هَذَا مُوْسَى وَقَوْمُهُ، فَنَظَرْتُ فَإِذَا سَوَادٌ عَظِيْمٌ، فَقِيْلَ لِيْ: هَذِهِ أُمَّتُكَ، وَمَعَهُمْ سَبْعُوْنَ أَلْفًا يَدْخُلُوْنَ الْجَنَّةَ بِغَيْرِ حِسَابٍ وَلاَ عَذَابٍ، ثُمَّ نَهَضَ فَدَخَلَ مَنْزِلَهُ، فَخَاضَ النَّاسُ فِيْ أُوْلَئِكَ، فَقَالَ بَعْضُهُمْ: فَلَعَلَّهُمُ الَّذِيْ صَحِبُوْا رَسُوْلَ اللهِ r، وَقَالَ بَعْضُهُمْ: فَلَعَلَّهُمْ الَّذِيْنَ وُلِدُوْا فِيْ الإِسْلاَمِ فَلَمْ يُشْرِكُوْا بِاللهِ شَيْئًا، وَذَكَرُوْا أَشْيَاءَ، فَخَرَجَ عَلَيْهِمْ رَسُوْلُ اللهِ r فَأَخْبَرُوْهُ، فَقَالَ: (( هُمُ الَّذِيْنَ لاَ يَسْتَرْقُوْنَ وَلاَ يَتَطَيَّرُوْنَ وَلاَ يَكْتَوُوْنَ وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ )) فَقَامَ عُكَاشَةُ بْنُ مِحْصَنٍ فَقَالَ: ادْعُ اللهَ أَنْ يَجْعَلَنِىْ مِنْهُمْ، فَقَالَ: (( أَنْتَ مِنْهُمْ )) ثُمَّ قَالَ رَجُلٌ آخَرُ فَقَالَ: ادْعُ اللهَ أَنْ يَجْعَلَنِيْ مِنْهُمْ، فَقَالَ r : (( سَبَقَكَ بِهَا عُكَاشَةُ))

“Telah diperlihatkan kepadaku beberapa umat, lalu aku melihat seorang Nabi, bersamanya sekelompok orang, dan seorang Nabi, bersamanya satu dan dua orang saja, dan Nabi yang lain lagi tanpa ada seorangpun yang menyertainya, tiba-tiba diperlihatkan kepadaku sekelompok orang yang banyak jumlahnya, aku mengira bahwa mereka itu umatku, tetapi dikatakan kepadaku: bahwa mereka itu adalah Musa dan kaumnya, tiba-tiba aku melihat lagi sekelompok orang yang lain yang jumlahnya sangat besar, maka dikatakan kepadaku: mereka itu adalah umatmu, dan bersama mereka ada 70.000 (tujuh puluh ribu) orang  yang masuk surga tanpa hisab dan tanpa disiksa lebih dahulu.” kemudian beliau bangkit dan masuk ke dalam rumahnya, maka orang- orang pun memperbincangkan tentang siapakah mereka itu? Ada di antara mereka yang berkata: “barangkali mereka itu orang-orang yang telah menyertai Nabi dalam hidupnya, dan ada lagi yang berkata: “barangkali mereka itu orang-orang yang dilahirkan dalam lingkungan Islam hingga tidak pernah menyekutukan Allah dengan sesuatupun, dan yang lainnya menyebutkan yang lain pula.

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dan merekapun memberitahukan hal tersebut kepada beliau. Maka beliau bersabda: “Mereka itu adalah orang-orang yang tidak pernah minta ruqyah([6]), tidak melakukan tathayyur ([7]dan tidak pernah meminta lukanya ditempeli besi yang dipanaskan([8]), dan mereka pun bertawakkal kepada tuhan mereka.” kemudian Ukasyah bin Muhshan berdiri dan berkata: mohonkanlah kepada Allah  agar aku termasuk golongan mereka, kemudian Rasul bersabda: “ya, engkau termasuk golongan mereka”, kemudian seseorang yang lain berdiri juga dan berkata: mohonkanlah kepada Allah  agar aku juga termasuk golongan mereka, Rasul menjawab: “Kamu sudah kedahuluan Ukasyah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kandungan bab ini:

  1. Mengetahui adanya tingkatan-tingkatan manusia dalam bertauhid.
  2. Pengertian mengamalkan tauhid dengan semurni-murninya.
  3. Pujian Allah kepada Nabi Ibrahim, karena beliau tidak pernah melakukan kemusyrikan. ([9])
  4. Pujian Allah kepada tokoh para wali Allah (para sahabat Rasulullah) karena bersihnya diri mereka dari kemusyrikan.
  5. Tidak meminta ruqyah, tidak meminta supaya lukanya ditempeli dengan besi yang panas, dan tidak melakukan tathayyur adalah termasuk pengamalan tauhid yang murni.
  6. Tawakkal kepada Allah adalah sifat yang mendasari sikap tersebut.
  7. Dalamnya ilmu para sahabat, karena mereka mengetahui bahwa orang-orang yang dinyatakan dalam hadits tersebut tidak akan mendapatkan kedudukan yang demikian tinggi kecuali dengan adanya pengamalan.
  8. Semangatnya para sahabat untuk berlomba-lomba dalam mengerjakan amal kebaikan.
  9. Keistimewaan umat Islam dalam kuantitas dan kualitasnya.
  10. Keutamaan para pengikut Nabi Musa.
  11. Umat-umat terdahulu telah ditampakkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.([10])
  12. Setiap umat dikumpulkan sendiri-sendiri bersama para Nabinya.
  13. Sedikitnya orang-orang yang mengikuti ajakan para Nabi.
  14. Nabi yang tidak mempunyai pengikut akan datang sendirian pada hari kiamat.
  15. Manfaat dari pengetahuan ini adalah tidak silau dengan jumlah yang banyak dan tidak kecil hati dengan jumlah yang sedikit.
  16. Diperbolehkan melakukan ruqyah disebabkan terkena ‘ain dan sengatan.
  17. Luasnya ilmu para ulama salaf, hal itu bisa diketahui dari ucapan Sa’id bin Jubair: “Sungguh telah berbuat baik orang yang mengamalkan apa yang telah didengarnya, tetapi…”, dengan demikian jelaslah bahwa hadits yang pertama tidak bertentangan dengan hadits yang kedua.
  18. Kemuliaan sifat para ulama salaf, karena ketulusan hati mereka, dan mereka jauh dari sifat memuji seseorang perkara yang tidak dimilikinya([11]).
  19. Sabda Nabi: “Engkau termasuk golongan mereka” adalah salah satu dari tanda-tanda kenabian Beliau.
  20. Keutamaan Ukasyah.
  21. Penggunaan kata sindiran ([12]).
  22. Kemuliaan akhlak Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.([13])

KETERANGAN (FOOTNOTE):

([1] ) Kaum mukminin masuk surga dengan beberapa model ;

Pertama : Masuk surga tanpa hisab, dan tentu tanpa adzab

Kedua : Masuk surga dengan dihisab terlebih dahulu dengan حِسَابًا يَسِيْرًا (hisab yang mudah). Sebagaimana yang Allah sebutkan dalam firmanNya :

فَأَمَّا مَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِيَمِينِهِ (7) فَسَوْفَ يُحَاسَبُ حِسَابًا يَسِيرًا (8) وَيَنْقَلِبُ إِلَى أَهْلِهِ مَسْرُورًا (9)

Adapun orang yang diberikan kitabnya dari sebelah kanannya,  maka dia akan diperiksa (dihisab/diaudit) dengan pemeriksaan yang mudah, dan dia akan kembali kepada kaumnya (yang sama-sama beriman) dengan gembira (QS. Al-Insyiqoq : 7-9)

Hisab ini maksudnya adalah ‘ardh (pemaparan) tentang dosa-dosa yang pernah dilakukan oleh sang hamba, dibongkar oleh Allah di hadapan sang hamba, namun dimaafkan oleh Allah dan tidak diumbar dihadapan khalayak.

Nabi bersabda :

 مَنْ نُوقِشَ الْحِسَابَ عُذِّبَ

“Barang siapa yang disidang secara rinci tatkala hisab maka dia disiksa”.

Aisyah berkata kepada Nabi,

أَلَيْسَ يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى { فَسَوْفَ يُحَاسَبُ حِسَابًا يَسِيرًا }”

Bukankah Allah berfirman “(Orang yang diberi kitab dengan tangan kanannya) akan dihisab dengan hisab yang ringan?”

Nabi berkata : (ذَلِكِ الْعَرْضُ) “Itu adalah ‘ardh (pemaparan)” (HR Al-Bukhari no 6536)

Dalam riwayat yang lain

أَنْ يَنْظُرَ فِي كِتَابِهِ فَيَتَجَاوَزَ لَهُ عَنْهُ

“Yaitu ia melihat di buku (catatan amalnya) lalu Allah mengampuninya”

Dalam hadits yang lain

إِنَّ اللَّهَ يُدْنِي الْمُؤْمِنَ فَيَضَعُ عَلَيْهِ كَنَفَهُ وَيَسْتُرُهُ فَيَقُولُ أَتَعْرِفُ ذَنْبَ كَذَا أَتَعْرِفُ ذَنْبَ كَذَا فَيَقُولُ نَعَمْ أَيْ رَبِّ حَتَّى إِذَا قَرَّرَهُ بِذُنُوبِهِ وَرَأَى فِي نَفْسِهِ أَنَّهُ هَلَكَ قَالَ سَتَرْتُهَا عَلَيْكَ فِي الدُّنْيَا وَأَنَا أَغْفِرُهَا لَكَ الْيَوْمَ فَيُعْطَى كِتَابَ حَسَنَاتِهِ

“Sesungguhnya Allah mendekatkan seorang mukmin (kepadaNya) lalu Allah meletakan tutupanNya (الكَنَفُ asalnya berarti sayap burung yang digunakan untuk menutup dirinya dan telurnya –pent) dan menutupinya, lalu Allah berkata, “Tidakkah tahu dosa ini, apakah kau tahu dosa ini?”. Maka sang hamba berkata, “Iya Robbku”. Hingga tatkala ia mengakui dosa-dosanya dan memandang bahwa dirinya telah binasa, maka Allah berkata, “Aku telah menutupnya di dunia, dan aku mengampunimu pada hari ini”. Lalu diberikan buku catatan kebaikan-kebaikannya” (HR Al-Bukhari no 2441). Dan dalam kondisi seperti ini maka tangan dan kaki tidak menjadi saksi, cukup Allah yang memaparkan dosa-dosanya.

Dan tidak mesti semua dosa dipaparkan oleh Allah, sebagaimana dalam hadits yang lain Nabi bersabda :

اعْرِضُوا عَلَيْهِ صِغَارَ ذُنُوبِهِ، وَارْفَعُوا عَنْهُ كِبَارَهَا…. يَا رَبِّ قَدْ عَمِلْتُ أَشْيَاءَ لَا أَرَاهَا هَاهُنَا

Allah berkata, “Paparkan baginya dosa-dosa kecilnya dan hilangkan dosa-dosa besarnya…(sang hamba berkata), “Wahai Robbku, aku telah melakukan dosa-dosa yang lain, yang aku tidak melihatnya di sini” (HR Muslim no 190)

Ketiga : Masuk surga setelah dihisab dengan hisab munaqosyah dan setelah disiksa di neraka.

Ibnu Hajar berkata :

وَالْمُرَادُ بِالْمُنَاقَشَةِ الِاسْتِقْصَاءُ فِي الْمُحَاسَبَةِ وَالْمُطَالَبَةُ بِالْجَلِيلِ وَالْحَقِيرِ وَتَرْكِ الْمُسَامَحَةِ

“Yang dimaksud dengan munaqosyah adalah detail dan rinci dalam pengauditan, dan penuntutan segala dosa baik yang besar maupun yang kecil, disertai tanpa pemaafan” (Fathul Baari 11/401)

Yang ini melazimkan ketersiksaan. Nabi bersabda مَنْ نُوقِشَ الْحِسَابَ عُذِّبَ (Barang siapa yang disidang secara rinci tatkala hisab maka dia disiksa). Dia akan tersiksa dari dua sisi, (1) tatkala disidang, dan (2) tatkala masuk neraka setelah persidangan.

Orang yang bertauhid secara umum akan dihisab dengan hisab yang mudah (‘ardh/pemaparan) berdasarkan keumuman ayat, akan tetapi orang-orang yang mentahqiq (memurnikan) tauhid maka mereka akan masuk surga tanpa hisab sama sekali.

Bab ini merupakan penyempurna dari bab sebelumnya, karena diantara keutamaan tauhid yang paling utama adalah menjadikan orang yang memurnikannya bisa masuk surga tanpa hisab, dan tentunya jika tanpa hisab lebih utama lagi tanpa adzab.

Jika bab sebelumnya menjelaskan tentang keutamaan orang-orang yang bertauhid secara umum yang mencakup para ahli tauhid yang masih terjerumus dalam dosa dan bid’ah, maka pada bab ini khusus menjelaskan tingkatan ahli tauhid yang lebih tinggi yaitu yang memurnikan tauhid dari segala yang mengotori kesempurnaannya. Kotoran-kotoran tersebut adalah kesyirikan, bid’ah dan ishror (terus menerus terjerumus) dalam maksiat. Dan diantara ciri mereka adalah memurnikan tawakkal, sehingga bahkan mereka bukan saja meninggalkan kemaksiatan tapi juga berusaha meninggalkan perkara yang makruh demi kesempurnaan tawakkal (sebagaimana akan datang penjelasannya). Inilah golongan yang Allah sebut dalam Al-Qur’an sebagai سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ  “yang berlomba melakukan kebajikan” dalam firmanNya :

ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ وَمِنْهُمْ مُقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللَّهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيرُ (32) جَنَّاتُ عَدْنٍ يَدْخُلُونَهَا يُحَلَّوْنَ فِيهَا مِنْ أَسَاوِرَ مِنْ ذَهَبٍ وَلُؤْلُؤًا وَلِبَاسُهُمْ فِيهَا حَرِيرٌ

Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan diantara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar.  (Bagi mereka) surga ´Adn mereka masuk ke dalamnya, di dalamnya mereka diberi perhiasan dengan gelang-gelang dari emas, dan dengan mutiara, dan pakaian mereka didalamnya adalah sutera (QS. Faathir : 32-33)

Pada bab ini penulis menyebutkan 3 dalil

([2] )  Dalil Pertama : Contoh seorang yang telah memurnikan tauhid yaitu Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Tentu tidak diragukan Nabi Ibrahim dialah yang telah menghancurkan berhala-berhala kaumnya, dialah yang telah berdebat juga dengan para penyembah benda-benda langit –sebagaimana telah lalu-. Karena membela tauhid beliau dilemparkan dalam lautan api, karena membela tauhid beliau diusir oleh ayahnya bahkan oleh kaumnya. Dan itu beliau hadapi seluruhnya dalam kondisi sendirian, tidak ada seorangpun yang bertauhid selain beliau.

Beliau pula yang telah mendapat predikat Khalilurrahman (kekasih Allah), yang telah diuji oleh Allah dengan ujian yang berat. Harus meninggalkan istrinya Hajar dan anaknya Isma’il di negeri yang tandus setelah sekian lama menanti kelahiran seorang anak. Beliau juga yang dengan tabahnya siap untuk menyembelih putranya Isma’il setelah mencapai umur remaja dimana hati seorang ayah sangat mencintai sang anak dalam usia remaja.

Ada 4 sifat Nabi Ibrahim yang Allah sebutkan dalam ayat ini :

Pertama : (كَانَ أُمَّةً) Beliau adalah Ummat. Ada dua makna dari kata “Ummat”, yang pertama adalah beliau adalah seorang Imam atau pemimpin atau qudwah (tauladan). Kedua ummat artinya seseorang yang memiliki sifat-sifat mulia yang banyak yang biasanya tersebar pada banyak orang, akan tetapi sifat-sifat tersebut terkumpulkan pada satu orang.

Dan seseorang tidak bisa mendapatkan predikat Imam kecuali jika telah terkumpul padanya kesabaran dan keyakinan. Allah berfirman

وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ

 Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami (QS. As-Sajdah : 24)

Tentu tidak diragukan lagi akan keyakinan Ibrahim dan kesabarannya menghadapai semua cobaan dan rintangan dalam dakwah tauhid.

Kedua : (قَانِتاً) dan al-qunut artinya adalah دَوَامُ الطَّاعَةِ senantiasa dalam ketaatan kepada Allah, tegar dan kokoh dalam mentaati perintah Allah

Ketiga : (حَنِيْفًا) yaitu condong menjauh dari kesyirikan menuju tauhid.

Keempat : Karenanya di akhir ayat (وَلَمْ يَكُ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ) yaitu “Beliau bukanlah termasuk orang-orang musyrik” yang merupakan penekanan bahwa beliau selalu dalam kondisi bertauhid, beliau sama sekali tidak pernah berbuat kesyirikan. Dan huruf (لَمْ) dalam ayat ini (وَلَمْ يَكُ) adalah harfu qolab yang fungsinya adalah mengubah fi’il mudhori’ (yang menunjukkan kata kerja yang sedang berlangsung atau akan datang) menjadi fi’il madhi (yang menunjukkan kata kerja di masa lampau), sehingga terjemahan dari ayat ini adalah “Beliau tidak pernah sama sekali termasuk orang-orang musyrik”. Dan ini membantah pendapat yang menyatakan bahwa beliau pernah dalam kondisi kafir lalu melakukan proses mencari Tuhan.

Kelima : Lanjutan dari ayat ini, Allah menyebutkan sifat berikutnya :

شَاكِرًا لِأَنْعُمِهِ

(lagi) yang mensyukuri nikmat-nikmat Allah (QS. An-Nahl : 121)

Firman Allah (أَنْعُمِ) adalah jama’ taksir dengan wazan أَفْعُل yang merupakan salah satu dari 4 wazan (timbangan) jam’u al-Qillah, yaitu jama’ yang menunjukkan bilangan dari 3 hingga 10. Yaitu Ibrahim ‘alaihis salam bersyukur dengan seluruh kenikmatan yang Allah berikan kepada beliau bahkan atas nikmat-nikmat yang sedikit, apalagi terhadap nikmat-nikmat yang banyak. (Lihat Fathul Qodir 3/241)

Dengan lima sifat ini Allah menganugrahkan kepada beliau lima kemuliaan.

Pertama : (اجْتَبَاهُAllah telah memilihnya

Kedua : (وَهَدَاهُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍdan Allah menunjukinya kepada jalan yang lurus (QS. An-Nahl : 121)

Ketiga :  (وَآتَيْنَاهُ فِي الدُّنْيَا حَسَنَةًDan Kami berikan kepadanya kebaikan di dunia

Yaitu الذِّكْرُ الْحَسَنُ sebutan yang baik, semua penganut agama samawiyah (termasuk yahudi dan nashrani) memuji beliau bahkan mengaku-ngaku sebagai pengikut beliau. Qotadah rahimahullah berkarta tentang ayat ini :

فَلَيْسَ مِنْ أَهْلِ دِينٍ إِلَّا يَتَوَلَّاهُ وَيَرْضَاهُ

“Tidak seorangpun pengikut agama kecuali mencintainya dan ridha kepadanya” (Tafsir at-Thabari 14/398)

Keempat : (وَإِنَّهُ فِي الْآخِرَةِ لَمِنَ الصَّالِحِينَDan sesungguhnya dia di akhirat benar-benar termasuk orang-orang yang shaleh (QS. An-Nahl : 122), yaitu termasuk penghuni surga

Kelima: (ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَKemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): “Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif” dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan (QS. An-Nahl : 123). Yaitu Allah menjadikannya imam (panutan) bahkan Allah memerintahkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam untuk mengikuti ajaran Nabi Ibrahim ‘alaihis salam.

([3]) Dalil Kedua : Sisi pendalilannya adalah Allah telah memuji kaum mukminin dengan menyebutkan sifat-sifat mereka, yang diantaranya adalah mereka tidak berbuat kesyirikan.

Ayat-ayat selengkapnya adalah :

إِنَّ الَّذِينَ هُمْ مِنْ خَشْيَةِ رَبِّهِمْ مُشْفِقُونَ (57) وَالَّذِينَ هُمْ بِآيَاتِ رَبِّهِمْ يُؤْمِنُونَ (58) وَالَّذِينَ هُمْ بِرَبِّهِمْ لَا يُشْرِكُونَ (59) وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ (60)

Sesungguhnya orang-orang yang berhati-hati karena takut akan (azab) Tuhan mereka. Dan orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Tuhan mereka. Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan dengan Tuhan mereka (sesuatu apapun). Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka (Al-Mukminun : 57-60)

Di akhir ayat, Allah menyebutkan sifat mereka yang menunjukkan mereka adalah orang-orang yang telah memurnikan tauhid, yaitu orang-orang yang bersegera dalam melakukan kebaikan. Allah berfirman:

أُولَئِكَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ (61)

mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya (QS. Al-Mukminun : 61)

([4]) Ruqyah, maksudnya di sini, ialah: penyembuhan dengan bacaan ayat-ayat Al qur’an atau dengan doa-doa yang diajarkan oleh Nabi (akan datang penjelasannya lebih detail).

([5]) ‘Ain, yaitu: pengaruh jahat yang disebabkan oleh rasa dengki seseorang dengan pandangan matanya, dan terkadang karena rasa kagum. Cara penyembuhannya adalah dengan meminta sisa mandi orang yang dicurigai telah timbul ‘ain darinya, lalu ditumpahkan ke tubuh orang yang terkena ain. Karenanya Nabi bersabda :

الْعَيْنُ حَقٌّ، وَلَوْ كَانَ شَيْءٌ سَابَقَ الْقَدَرَ سَبَقَتْهُ الْعَيْنُ، وَإِذَا اسْتُغْسِلْتُمْ فَاغْسِلُوا

“Ain adalah benar. Kalau ada sesuatu yang bisa mendahului taqdir  maka ‘ain akan mendahuluinya. Dan jika kalian diminta untuk mandi maka mandilah” (HR Muslim no 2188)

Maksud Nabi yaitu penekanan dalam menjelaskan begitu cepatnya pengaruh ‘ain, karena ‘ain tidak akan mendahului atau merubah taqdir, bahkan ‘ain adalah bagian dari taqdir. Akan tetapi hiperbola ini digunakan oleh Nabi untuk menekankan pengaruh ‘ain yang begitu kuat dan cepat. (Lihat Fathul Baari 10/203-204)

Hadits ini juga menjelaskan diantara obat ‘ain adalah meminta orang yang diduga penyebab ‘ain untuk mandi dan sisa mandinya digunakan untuk menyiram tubuh orang yang sakit karena ‘ain.

Pada suatu riwayat :

اغتسل أَبِي سَهْلُ بْنُ حُنَيْفٍ بِالْخَرَّارِ، فَنَزَعَ جُبَّةً كَانَتْ عَلَيْهِ وَعَامِرُ بْنُ رَبِيعَةَ يَنْظُرُ، قَالَ: وَكَانَ سَهْلٌ رَجُلاً أَبْيَضَ، حَسَنَ الْجِلْدِ، قَالَ: فَقَالَ عَامِرُ بْنُ رَبيعَةَ: مَا رَأَيْتُ كَالْيَوْمِ وَلا جِلْدَ عَذْرَاءَ، فَوُعِكَ سَهْلٌ مَكَانَهُ، فَاشْتَدَّ وَعْكُهُ، فَأُتِي رَسُولُ الله – صلى الله عليه وسلم – فَأُخْبِرَ أَنَّ سَهْلاً وُعِكَ وَأَنَّهُ غَيرُ رَائِحٍ مَعَكَ يَا رسول الله، فَاَتَاهُ رَسُولُ الله – صلى الله عليه وسلم – فَأَخْبَرَهُ سَهْل بالَّذِي كَانَ مِنْ شَأنِ عَامِرِ بْنِ رَبِيعَةَ، فَقَالَ رَسُولُ الله – صلى الله عليه وسلم -: “عَلاَمَ يَقْتُلُ أًحَدُكمْ أَخَاهُ؟ أَلا بَرَّكْتَ؟، إِنَّ الْعَيْنَ حَقٌّ، تَوَضَّأْ لَهُ”. فَتَوَضَأَ لَهُ عَامِرُ بْنُ رَبِيعَةَ، فَرَاحَ سَهْل مَعَ رَسُولِ الله – صلى الله عليه وسلم – لَيْسَ بِهِ بَأْسٌ

Sahl bin Hunaif mandi di al-Khorror (nama sebuah tempat di Madinah). Iapun membuka bajunya, sementara ‘Amir bin Robi’ah melihatnya. Dan Sahl adalah seorang yang berkulit putih dan indah. Maka ‘Amir bin Robi’ah berkata, “Aku tidak pernah melihat kulit (indah) seperti yang kulihat pada hari ini, bahkan mengalahkan kulit wanita gadis”. Maka Sahlpun sakit seketika, dan sakitnya semakin parah. Lalu dikabarkan kepada Nabi “Sahl  sakit dan ia tidak bisa berangkat bersama Engkau wahai Rasulullah”. Maka Nabipun mendatangi Sahl, lalu Sahl bercerita kepada Nabi tentang perkataan ‘Amir bin Robi’ah, maka Nabi berkata, “Atas dasar apa seseorang menyakiti saudaranya?”. Kenapa engkau tidak mendoakan keberkahan? (yaitu dengan berkata Baarokallahu fiik atau Tabaarokallahu Ahsanul Kholiqin –pent), sesungguhnya ‘ain itu benar adanya, berwudulah untuknya”. ‘Amir lalu berwudhu untuk (disiramkan air bekas wudhunya) ke Sahl, maka Sahl-pun berangkat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam kondisi sehat” (HR Malik di Al-Muwattho’ no 1678, Ibnu Hiban no 6105).

Dalam riwayat yang lain

فَأَمَرَ عَامِرًا أَنْ يَتَوَضَّأَ، فَغَسَلَ وَجْهَهُ وَيَدَيْهِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ، وَرُكْبَتَيْهِ وَدَاخِلَةَ إِزَارِهِ، وَأَمَرَهُ أَنْ يَصُبَّ عَلَيْهِ

“Lalu Nabi memerintahkan Amir untuk berwudhu. Lalu Amir membasuh wajah dan kedua tangannya hingga kedua sikunya, membasuh kedua lututnya dan bagian dalam sarungnya. Lalu Nabi memerintahkannya untuk menumpahkannya kepada Sahl” (HR Ibnu Majah no 3509). Adapun yang dimaksud dengan “bagian dalam sarungnya” maka ada yang mengatakan maksudnya adalah pantatnya, ada yang mengatakan maksudnya adalah bagian tubuh yang berada di balik sarung. (Lihat Fathul Baari 10/204)

Aisyah berkata :

كانَ يُؤمَر العائِنُ، فيتوضّأُ، ثم يَغْتَسِلُ منه المَعِينُ

Orang penyebab ‘ain diperintahkan untuk berwudhu lalu orang yang terkena penyakit ‘ain mandi dari sisa air wudhu tersebut (HR Abu Dawud no 3885)

Dan diantara obat penyembuh penyakit karena ‘ain adalah dengan diruqyah sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits ini.

Adapun sabda Nabi (Tidak ada Ruqyah kecuali karena ‘ain atau terkena sengatan) maksudnya adalah tidak ada ruqyah yang paling mujarrob seperti manjurnya untuk mengobati ‘ain dan sengatan binatang berbisa. Karena pengobatan dengan al-Qur’an mencakup seluruh penyakit, baik penyakit rohani maupaun jasmani. Allah berfirman :

وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ وَلَا يَزِيدُ الظَّالِمِينَ إِلَّا خَسَارًا

Dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi obat dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian (QS. Al-Israa’ : 82)

Dan pembatas nisbi seperti ini sama seperti sabda Nabi لاَ رِبَا إَلاَّ فِي النَّسِيْئَةِ (Tidak ada riba kecuali riba nasi’ah), padahal riba fadhl juga merupakan riba, hanya saja yang dipraktikkan oleh kaum musyrikin jahiliyah adalah riba nasi’ah.

([6]) Meminta untuk diruqyah hukumnya adalah boleh, namun meskipun boleh ia mengurangi kemurnian tauhid karena termasuk bentuk meminta kepada makhluk. Di sisi yang lain ketergantungan hati orang yang diruqyah dengan peruqyah sangat besar, sehingga hal ini mengurangi kesempurnaan tawakkal.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

«مَنِ اكْتَوَى، أَوِ اسْتَرْقَى، فَقَدْ بَرِئَ مِنَ التَّوَكُّلِ»

“Barangsiapa melakukan pengobatan dengan cara membakar diri dengan besi panas atau meminta diruqyah, maka dia tidak memiliki rasa tawakkal.” (HR Ibnu Majah No. 3489 dan dishahihkan oleh Al-Albani)

Adapun meruqyah maka dibolehkan bahkan dianjurkan jika berniat untuk menolong saudara. Tatkala ada seseorang bertanya kepada Nabi, يَا رَسُولَ اللهِ أَرْقِي؟ “Wahai Rasulullah apakah boleh aku meruqyah?”. Nabi menjawab :

مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ يَنْفَعَ أَخَاهُ فَلْيَفْعَلْ

“Barang siapa yang mampu untuk memberi manfaat kepada saudaranya maka lakukanlah” (HR Muslim no 2199).

Oleh karenanya Nabi meruqyah para sahabat dan malaikat Jibril juga meruqyah Nabi.

Demikian juga kalau ada yang meruqyah kita tanpa kita memintanya, maka hal ini juga tidak mengapa.

Bagiamana jika seorang ayah meminta ruqyah kepada anaknya, apakah ini mengurangi kesempurnaan tawakkalnya?.

Kita harus mengenal ‘illah (sebab) kenapa meminta orang lain untuk meruqyah mengurangi kesempurnaan tawakkal?, karena hal tersebut adalah bentuk meminta-minta kepada orang lain, yang melazimkan kita merasa rendah di hadapannya. Dan semua bentuk permintaan yang menjadikan hati kita bergantung kepada makhluk dan menjadikan kita rendah di hadapan makhluk maka akan mengurangi kesempurnaan tawakkal kita kepada Allah. Nabi pernah membai’at para sahabat untuk tidak meminta kepada orang lain. Sampai-sampai ada sahabat yang terjatuh pecutnya maka ia tidak menyuruh orang lain untuk mengambilkan untuknya tapi ia turun dari tunggangannya untuk mengambil sendiri. (lihat HR Muslim no 1043). Akan tetapi banyak hadits yang menunjukkan bahwa Nabi memerintahkan istrinya atau pembantunya atau sebagian sahabatnya. Ini menunjukkan jika permintaan kepada orang lain tidak menimbulkan rasa rendah diri maka hal ini tidak mencela kemurnian tauhid. Seperti bos yang memerintah anak buahnya, ayah meminta kepada anaknya, suami meminta kepada istrinya, anak meminta kepada bapaknya, istri meminta kepada suaminya, dan seterusnya. Oleh karenanya sebagian ulama memandang bahwa meminta ruqyah kepada suami atau istri atau anak atau bapak maka hal ini tidak mengurangi kemurnian tauhid sama sekali.

Namun sebagian ulama berpendapat makruhnya meminta ruqyah dalam bentuk apapun meskipun tanpa disertai perasaan rendah, sehingga hendaknya seorang seseorang tidak meminta ruqyah meskipun kepada anak dan istrinya. Pendapat ini tentu lebih hati-hati.

Sebagian ulama bahkan berpendapat bolehnya meminta ruqyah jika memang benar-benar membutuhkan. Syaikh Bin Baaz rahimahullah berkata :

ولكن الاسترقاء لا يمنع كونه من السبعين، والاسترقاء: طلب الرقية، وإذا دعت الحاجة إلى هذا فلا بأس، النبي صلى الله عليه وسلم أمر عائشة أن تسترقي، وأمر أم أولاد جعفر أن تسترقي لأولادها، فلا حرج في ذلك

“Akan tetapi meminta ruqyah tidak menghalanginya termasuk dalam 70 ribu orang (yang masuk surga tanpa adzab dan hisab). Dan meminta ruqyah jika memang ada keperluan maka tidak mengapa. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan Aisyah untuk meminta ruqyah, dan memerintahkan ibu dari anak-anaknya Ja’far bin Abi Tholib untuk meminta orang meruqyah anak-anaknya, maka tidak mengapa” (Fataawaa Nuur ‘ala ad-Darb 1/76)

Dalil akan hal ini diantaranya :

عَنْ عَائِشَةَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: «أَمَرَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ أَمَرَ أَنْ يُسْتَرْقَى مِنَ العَيْنِ»

Dari Aisyah radhiallahu ‘anhaa berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan aku atau beliau memerintahkan untuk meminta ruqyah karena ‘ain” (HR al-Bukhari No. 5738)

Dalam riwayat muslim :

«كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْمُرُنِي أَنْ أَسْتَرْقِيَ مِنَ الْعَيْنِ»

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan aku agar aku meminta ruqyah karena ‘ain” (HR Muslim No. 2195)

عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى فِي بَيْتِهَا جَارِيَةً فِي وَجْهِهَا سَفْعَةٌ، فَقَالَ: «اسْتَرْقُوا لَهَا، فَإِنَّ بِهَا النَّظْرَةَ»

Dari Ummu Salamah radhiallahu ‘anhaa bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melihat di rumahnya ada seorang budak wanita yang wajahnya ada warna kekuning-kuningan, maka beliau berkata, “Mintalah ruqyah untuk budak wanita ini, karena ia kena ‘ain” (HR Al-Bukhari No. 5739, lihat penjelasan Ibnu Hajar di Fathul Baari 10/202)

عَنْ عُبَيْدِ بْنِ رِفَاعَةَ الزُّرَقِيِّ، قَالَ: قَالَتْ أَسْمَاءُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ بَنِي جَعْفَرٍ تُصِيبُهُمُ الْعَيْنُ، فَأَسْتَرْقِي لَهُمْ قَالَ: «نَعَمْ، فَلَوْ كَانَ شَيْءٌ سَابَقَ الْقَدَرَ، سَبَقَتْهُ الْعَيْنُ»

Dari ‘Ubaid bin Rifaa’ah az-Zuroqy ia berkata, Asma’ (binti ‘Umais) berkata, “Ya Rasulullah sesungguhnya anak-anak Ja’far (bin Abi Tholib) terkena ‘ain, apakah aku meminta ruqyah untuk mereka?”. Nabi berkata, “Iya, kalau ada sesuatu yang mendahului taqdir maka taqdir akan didahului oleh ‘ain” (HR Ibnu Majah No. 3510 dan dishahihkan oleh Al-Albani)

([7]) Tathayyur ialah: merasa pesimis, merasa bernasib sial, atau meramal nasib buruk karena melihat burung, binatang lainnya atau apa saja (akan datang penjelasannya dengan lebih detail)

([8]) Berobat dengan kay hukumnya makruh, karena mirip dengan bentuk penyiksaan dengan api. Dan yang berhak menyiksa dengan api hanyalah pencipta api yaitu Allah. Akan tetapi Nabi pernah meng-kay sebagian sahabat, Jabir berkata :

رُمِيَ سَعْدُ بْنُ مُعَاذٍ فِي أَكْحَلِهِ، قَالَ: «فَحَسَمَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدِهِ بِمِشْقَصٍ، ثُمَّ وَرِمَتْ فَحَسَمَهُ الثَّانِيَةَ»

“Sa’ad bin Mu’adz terkena panah di lengan bawahnya, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun meng-kay beliau dengan besi yang panjang (namun tidak lebar), kemudian lukanya tersebut bengkak, maka Nabipun meng-kay beliau kedua kali” (HR Muslim no 2208)

Nabi juga pernah mengirim tabib untuk mengkay, Jabir berkata :

مَرِضَ أُبَيُّ بْنُ كَعْبٍ مَرَضًا، فَأَرْسَلَ إِلَيْهِ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – طَبِيبًا، فَكَوَاهُ عَلَى أَكْحَلِهِ

“Ubay bin Ka’ab pernah sakit parah, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengirim tabib, lalu tabib tadi meng-kay di lengan bawah Ubay” (HR Ibnu Majah no 3493)

Sehingga kay dibolehkan jika memang diperlukan. Karenanya yang menjadi permasalahan utama adalah bukan melakukan kay tapi berobat dengan minta untuk di-kay karena ada bentuk meminta dan ketergantungan kepada orang lain. Terlebih lagi dahulu orang-orang Arab meyakini kalau pengobatan dengan menggunakan kay pasti berhasil. Sehingga ada pepatah mereka : آخِرُ الدَّوَاءِ الْكَيُّ “Obat yang terakhir adala kay”, yang menimbulkan bentuk ketergantungan hati kepada pengobatan kay.

Ibnu Hajar rahimahullah berkata :

وَإِنَّمَا نَهَى عَنْهُ مَعَ إِثْبَاتِهِ الشِّفَاءَ فِيهِ إِمَّا لِكَوْنِهِمْ كَانُوا يَرَوْنَ أَنَّهُ يَحْسِمُ الْمَادَّةَ بِطَبْعِهِ فَكَرِهَهُ لِذَلِكَ وَلِذَلِكَ كَانُوا يُبَادِرُونَ إِلَيْهِ قَبْلَ حُصُولِ الدَّاءِ لِظَنِّهِمُ أَنَّهُ يحسم الدَّاء فيتعجل الَّذِي يَكْتَوِي التَّعْذِيبَ بِالنَّارِ لِأَمْرٍ مَظْنُونٍ وَقَدْ لَا يَتَّفِقُ أَنْ يَقَعَ لَهُ ذَلِكَ الْمَرَضُ الَّذِي يَقْطَعُهُ الْكَيُّ وَيُؤْخَذُ مِنَ الْجَمْعِ بَيْنَ كَرَاهَتِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلْكَيِّ وَبَيْنَ اسْتِعْمَالِهِ لَهُ أَنَّهُ لَا يُتْرَكُ مُطْلَقًا وَلَا يُسْتَعْمَلُ مُطْلَقًا بَلْ يُسْتَعْمَلُ عِنْدَ تَعَيُّنِهِ طَرِيقًا إِلَى الشِّفَاءِ مَعَ مُصَاحَبَةِ اعْتِقَادِ أَنَّ الشِّفَاءَ بِإِذْنِ اللَّهِ تَعَالَى

“Dan hanyalah Nabi melarang kay padahal Nabi menetapkan ada pengobatan dengan kay, karena mereka dahulu memandang bahwa kay itu bisa menghilangkan penyakit dengan sendirinya -secara tabi’at kay itu sendiri-. Karenanya Nabi membenci kay. Karenanya mereka dahulu segera langsung melakukan kay sebelum munculnya penyakit karena mereka menyangka bahwa kay bisa menghilangkan penyakit. Akhirnya orang yang meminta kay terburu-buru merasakan penyiksaan dengan api hanya karena suatu perkara yang masih berupa persangkaan, dan bisa jadi kebetulan penyakit tersebut ternyata tidak menimpanya yaitu penyakit yang bisa dihilangkan dengan kay.

Dan cara mengkompromikan antara bencinya Nabi terhadap kay dengan sikap beliau yang melakukan kay adalah tidak menggunakan kay secara mutlak dan tidak juga meninggalkan kay secara mutlak. Akan tetapi digunakan kay tatkala dipastikan kay merupakan jalan untuk kesembuhan disertai keyakinan bahwa kesembuhan hanya terjadi dengan izin Allah (Fathul Baari 10/138-139)

Adapun pengobatan dengan cara yang lain maka tidak bisa diqiyaskan dengan pengobatan Kay, karena Kay adalah bentuk pembakaran besi dengan api. Selain itu banyak dalil yang menunjukkan Nabi memerintahkan untuk berobat, demikian juga datang dalil-dalil memuji obat-obat tertentu, seperti madu dan al-habbat as-Saudaa’.

([9])Ini merupakan bantahan kepada ahlul kalam yang menyatakan bahwa Nabi Ibrahim mencari Tuhan dengan mengamati bulan, bintang, dan matahari. Karena jika perkaranya demikian berarti Nabi Ibrahim pernah musyrik sehingga mencari Tuhan, padahal Allah menyatakan bahwa beliau sama sekali tidak pernah melakukan kesyirikan. Yang benar bahwasanya Nabi Ibrahim memandang benda-benda langit dalam rangka mendebat kaumnya yang menyembah benda-benda langit tersebut –sebagaimana telah lalu penjelasannya-.

([10]) Khilaf dikalangan para ulama, apakah Nabi dinampakkan hal tersebut tatkala beliau isro’ ataukah dalam mimpi?

([11]) Sifat ingin dipuji pada perkara yang tidak dilakukan merupakan sifat tercela. Allah berfirman :

لَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَفْرَحُونَ بِمَا أَتَوْا وَيُحِبُّونَ أَنْ يُحْمَدُوا بِمَا لَمْ يَفْعَلُوا فَلَا تَحْسَبَنَّهُمْ بِمَفَازَةٍ مِنَ الْعَذَابِ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

Janganlah sekali-kali kamu menyangka, hahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa, dan bagi mereka siksa yang pedih (QS. Ali ‘Imran : 188)

As-Sa’di berkata, “Mafhum (kebalikan) dari ayat ini menunjukkan bahwa orang yang senang jika dipuji dan disanjung dengan kebaikan dan kebenaran yang ia kerjakan –jika tujuannya bukan karena riya’ dan sum’ah- maka tidak tercela. Bahkan ini merupakan perkara yang dicari dimana Allah telah mengabarkan bahwa Allah membalas orang-orang yang baik perbuatan dan perkataannya dengan sebutan dan sanjungan yang baik, dan Allah membalas dengan cara ini bagi orang-orang yang istimewa, dan mereka telah meminta hal ini kepada Allah. Nabi Ibrahim berkata :

وَاجْعَلْ لِي لِسَانَ صِدْقٍ فِي الْآخِرِينَ

“Dan jadikanlah aku buah tutur yang baik bagi orang-orang (yang datang) kemudian” (Asy-Syu’ara’ : 84)” (Tafsir As-Sa’di hal 160)

Demikian juga bahwa pujian tersebut merupakan kabar gembira yang disegerakan. Nabi ditanya :

أَرَأَيْتَ الرَّجُلَ يَعْمَلُ الْعَمَلَ مِنَ الْخَيْرِ، وَيَحْمَدُهُ النَّاسُ عَلَيْهِ؟ قَالَ: «تِلْكَ عَاجِلُ بُشْرَى الْمُؤْمِنِ»

“Bagaimana menurut Anda tentang seseorang yang beramal kebajikan dan orang-orangpun memujinya?” Nabi berkata, “Itu adalah kabar gembira yang disegerakan bagi seorang mukmin” (HR Muslim  no 2642)

([12]) Karena beliau bersabda kepada orang tersebut: “Kamu sudah kedahuluan Ukasyah”, dan tidak bersabda kepadanya: “Kamu tidak pantas untuk dimasukkan ke dalam golongan mereka”. Karena jika Nabi mengucapkan demikian maka akan menyakiti hati orang tersebut.

Sebagian ulama berpendapat bahwa orang tersebut adalah munafiq karena Nabi tidak mendoakannya. Namun –wallahu a’lam– tidak ada dalil akan hal ini. Jika ia seorang munafik maka buat apa ia meminta doa kepada Nabi sementara hatinya tidak beriman dengan Nabi. Akan tetapi Nabi tidak mendoakannya dalam rangka menutup pintu, karena jika Nabi mengatakan engkau juga termasuk dalam 70 ribu maka akan ada yang meminta setelahnya untuk didoakan juga. Sehingga akhirnya akan ada orang yang tidak berhak untuk didoakan lantas tidak didoakan Nabi sehingga akan menyakiti hatinya.

([13]) Selain menunjukkan akhlak Nabi yang mulia juga menunjukkan cerdasnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dimana Nabi menggunakan kata kiasan untuk tidak mendoakan orang tersebut dengan kata-kata yang tidak menyinggung perasaannya dan sekaligus menutup pintu untuk dimintai doa oleh seluruh yang hadir. Seandainya Nabi berkata, “Engkau tidak pantas”, atau “Ini adalah kedudukan yang tinggi, engkau belum mampu” atau yang semisalnya maka tentu akan membuatnya jadi futur (mutung dan tidak semangat).

Penjelasan Kitab Tauhid BAB 4 – TAKUT KEPADA SYIRIK

BAB 4 ( [1] ) TAKUT KEPADA SYIRIK ( [2] ) Firman Allah  Subhanahu wa Ta’ala  : إِنَّ اللَّـهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا ...