Rabu, 29 Juli 2020

Penjelasan Kitab Tauhid BAB 3 – Memurnikan Tauhid Menyebabkan Masuk Surga Tanpa Hisab

BAB 3

مَنْ حَقَّقَ التَّوْحِيْدَ دَخَلَ الْجَنَّةَ بِغَيْرِ حِسَابِ

MEMURNIKAN TAUHID MENYEBABKAN MASUK SURGA TANPA HISAB([1])

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

إِنَّ إِبْرَاهِيمَ كَانَ أُمَّةً قَانِتًا لِّلَّـهِ حَنِيفًا وَلَمْ يَكُ مِنَ الْمُشْرِكِينَ

“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif (berpegang teguh pada kebenaran), dan sekali-kali ia bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan).” (QS. An  Nahl: 120). ([2])

وَالَّذِينَ هُم بِرَبِّهِمْ لَا يُشْرِكُونَ

“Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan dengan Rabb mereka (sesuatu apapun)”. (QS. Al Mu’minun: 59). ([3])

Husain bin Abdurrahman berkata: “Suatu ketika aku berada di sisi Sa’id bin Zubair, lalu ia bertanya: “siapa di antara kalian melihat bintang yang jatuh semalam? kemudian aku menjawab: “aku”, kemudian kataku: “ketahuilah, sesungguhnya aku ketika itu tidak sedang melaksanakan shalat, karena aku disengat kalajengking”, lalu ia bertanya kepadaku: “lalu apa yang kau lakukan? aku menjawab: “aku minta diruqyah ([4])”, ia bertanya lagi: “apa yang mendorong kamu melakukan hal itu? aku menjawab: “yaitu: sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Asy Sya’by kepada kami”, ia bertanya lagi: “dan apakah hadits yang dituturkan kepadamu itu? aku menjawab: “dia menuturkan hadits kepada kami dari Buraidah bin Hushaib:

(( لاَ رُقْيَةَ إِلاَّ مِنْ عَيْنٍ أَوْ حُمَةٍ ))

Tidak ada Ruqyah kecuali karena ain ([5]) atau terkena sengatan”. Sa’id pun berkata: “sungguh telah berbuat baik orang yang telah mengamalkan apa yang telah didengarnya, tetapi Ibnu Abbas menuturkan hadits kepada kami dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

(( عُرِضَتْ عَلَيَّ الأُمَمُ، فَرَأَيْتُ النَّبِيَّ مَعَهُ الرَّهْطُ، وَالنَّبِيَّ مَعَهُ الرَّجُلُ وَالرَّجُلاَنِ، وَالنَّبِيَّ وَلَيْسَ مَعَهُ أَحَدٌ، إِذْ رُفِعَ لِيْ سَوَادٌ عَظِيْمٌ، فَظَنَنْتُ أَنَّهُمْ أُمَّتِيْ، فَقِيْلَ لِيْ: هَذَا مُوْسَى وَقَوْمُهُ، فَنَظَرْتُ فَإِذَا سَوَادٌ عَظِيْمٌ، فَقِيْلَ لِيْ: هَذِهِ أُمَّتُكَ، وَمَعَهُمْ سَبْعُوْنَ أَلْفًا يَدْخُلُوْنَ الْجَنَّةَ بِغَيْرِ حِسَابٍ وَلاَ عَذَابٍ، ثُمَّ نَهَضَ فَدَخَلَ مَنْزِلَهُ، فَخَاضَ النَّاسُ فِيْ أُوْلَئِكَ، فَقَالَ بَعْضُهُمْ: فَلَعَلَّهُمُ الَّذِيْ صَحِبُوْا رَسُوْلَ اللهِ r، وَقَالَ بَعْضُهُمْ: فَلَعَلَّهُمْ الَّذِيْنَ وُلِدُوْا فِيْ الإِسْلاَمِ فَلَمْ يُشْرِكُوْا بِاللهِ شَيْئًا، وَذَكَرُوْا أَشْيَاءَ، فَخَرَجَ عَلَيْهِمْ رَسُوْلُ اللهِ r فَأَخْبَرُوْهُ، فَقَالَ: (( هُمُ الَّذِيْنَ لاَ يَسْتَرْقُوْنَ وَلاَ يَتَطَيَّرُوْنَ وَلاَ يَكْتَوُوْنَ وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ )) فَقَامَ عُكَاشَةُ بْنُ مِحْصَنٍ فَقَالَ: ادْعُ اللهَ أَنْ يَجْعَلَنِىْ مِنْهُمْ، فَقَالَ: (( أَنْتَ مِنْهُمْ )) ثُمَّ قَالَ رَجُلٌ آخَرُ فَقَالَ: ادْعُ اللهَ أَنْ يَجْعَلَنِيْ مِنْهُمْ، فَقَالَ r : (( سَبَقَكَ بِهَا عُكَاشَةُ))

“Telah diperlihatkan kepadaku beberapa umat, lalu aku melihat seorang Nabi, bersamanya sekelompok orang, dan seorang Nabi, bersamanya satu dan dua orang saja, dan Nabi yang lain lagi tanpa ada seorangpun yang menyertainya, tiba-tiba diperlihatkan kepadaku sekelompok orang yang banyak jumlahnya, aku mengira bahwa mereka itu umatku, tetapi dikatakan kepadaku: bahwa mereka itu adalah Musa dan kaumnya, tiba-tiba aku melihat lagi sekelompok orang yang lain yang jumlahnya sangat besar, maka dikatakan kepadaku: mereka itu adalah umatmu, dan bersama mereka ada 70.000 (tujuh puluh ribu) orang  yang masuk surga tanpa hisab dan tanpa disiksa lebih dahulu.” kemudian beliau bangkit dan masuk ke dalam rumahnya, maka orang- orang pun memperbincangkan tentang siapakah mereka itu? Ada di antara mereka yang berkata: “barangkali mereka itu orang-orang yang telah menyertai Nabi dalam hidupnya, dan ada lagi yang berkata: “barangkali mereka itu orang-orang yang dilahirkan dalam lingkungan Islam hingga tidak pernah menyekutukan Allah dengan sesuatupun, dan yang lainnya menyebutkan yang lain pula.

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dan merekapun memberitahukan hal tersebut kepada beliau. Maka beliau bersabda: “Mereka itu adalah orang-orang yang tidak pernah minta ruqyah([6]), tidak melakukan tathayyur ([7]dan tidak pernah meminta lukanya ditempeli besi yang dipanaskan([8]), dan mereka pun bertawakkal kepada tuhan mereka.” kemudian Ukasyah bin Muhshan berdiri dan berkata: mohonkanlah kepada Allah  agar aku termasuk golongan mereka, kemudian Rasul bersabda: “ya, engkau termasuk golongan mereka”, kemudian seseorang yang lain berdiri juga dan berkata: mohonkanlah kepada Allah  agar aku juga termasuk golongan mereka, Rasul menjawab: “Kamu sudah kedahuluan Ukasyah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kandungan bab ini:

  1. Mengetahui adanya tingkatan-tingkatan manusia dalam bertauhid.
  2. Pengertian mengamalkan tauhid dengan semurni-murninya.
  3. Pujian Allah kepada Nabi Ibrahim, karena beliau tidak pernah melakukan kemusyrikan. ([9])
  4. Pujian Allah kepada tokoh para wali Allah (para sahabat Rasulullah) karena bersihnya diri mereka dari kemusyrikan.
  5. Tidak meminta ruqyah, tidak meminta supaya lukanya ditempeli dengan besi yang panas, dan tidak melakukan tathayyur adalah termasuk pengamalan tauhid yang murni.
  6. Tawakkal kepada Allah adalah sifat yang mendasari sikap tersebut.
  7. Dalamnya ilmu para sahabat, karena mereka mengetahui bahwa orang-orang yang dinyatakan dalam hadits tersebut tidak akan mendapatkan kedudukan yang demikian tinggi kecuali dengan adanya pengamalan.
  8. Semangatnya para sahabat untuk berlomba-lomba dalam mengerjakan amal kebaikan.
  9. Keistimewaan umat Islam dalam kuantitas dan kualitasnya.
  10. Keutamaan para pengikut Nabi Musa.
  11. Umat-umat terdahulu telah ditampakkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.([10])
  12. Setiap umat dikumpulkan sendiri-sendiri bersama para Nabinya.
  13. Sedikitnya orang-orang yang mengikuti ajakan para Nabi.
  14. Nabi yang tidak mempunyai pengikut akan datang sendirian pada hari kiamat.
  15. Manfaat dari pengetahuan ini adalah tidak silau dengan jumlah yang banyak dan tidak kecil hati dengan jumlah yang sedikit.
  16. Diperbolehkan melakukan ruqyah disebabkan terkena ‘ain dan sengatan.
  17. Luasnya ilmu para ulama salaf, hal itu bisa diketahui dari ucapan Sa’id bin Jubair: “Sungguh telah berbuat baik orang yang mengamalkan apa yang telah didengarnya, tetapi…”, dengan demikian jelaslah bahwa hadits yang pertama tidak bertentangan dengan hadits yang kedua.
  18. Kemuliaan sifat para ulama salaf, karena ketulusan hati mereka, dan mereka jauh dari sifat memuji seseorang perkara yang tidak dimilikinya([11]).
  19. Sabda Nabi: “Engkau termasuk golongan mereka” adalah salah satu dari tanda-tanda kenabian Beliau.
  20. Keutamaan Ukasyah.
  21. Penggunaan kata sindiran ([12]).
  22. Kemuliaan akhlak Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.([13])

KETERANGAN (FOOTNOTE):

([1] ) Kaum mukminin masuk surga dengan beberapa model ;

Pertama : Masuk surga tanpa hisab, dan tentu tanpa adzab

Kedua : Masuk surga dengan dihisab terlebih dahulu dengan حِسَابًا يَسِيْرًا (hisab yang mudah). Sebagaimana yang Allah sebutkan dalam firmanNya :

فَأَمَّا مَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِيَمِينِهِ (7) فَسَوْفَ يُحَاسَبُ حِسَابًا يَسِيرًا (8) وَيَنْقَلِبُ إِلَى أَهْلِهِ مَسْرُورًا (9)

Adapun orang yang diberikan kitabnya dari sebelah kanannya,  maka dia akan diperiksa (dihisab/diaudit) dengan pemeriksaan yang mudah, dan dia akan kembali kepada kaumnya (yang sama-sama beriman) dengan gembira (QS. Al-Insyiqoq : 7-9)

Hisab ini maksudnya adalah ‘ardh (pemaparan) tentang dosa-dosa yang pernah dilakukan oleh sang hamba, dibongkar oleh Allah di hadapan sang hamba, namun dimaafkan oleh Allah dan tidak diumbar dihadapan khalayak.

Nabi bersabda :

 مَنْ نُوقِشَ الْحِسَابَ عُذِّبَ

“Barang siapa yang disidang secara rinci tatkala hisab maka dia disiksa”.

Aisyah berkata kepada Nabi,

أَلَيْسَ يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى { فَسَوْفَ يُحَاسَبُ حِسَابًا يَسِيرًا }”

Bukankah Allah berfirman “(Orang yang diberi kitab dengan tangan kanannya) akan dihisab dengan hisab yang ringan?”

Nabi berkata : (ذَلِكِ الْعَرْضُ) “Itu adalah ‘ardh (pemaparan)” (HR Al-Bukhari no 6536)

Dalam riwayat yang lain

أَنْ يَنْظُرَ فِي كِتَابِهِ فَيَتَجَاوَزَ لَهُ عَنْهُ

“Yaitu ia melihat di buku (catatan amalnya) lalu Allah mengampuninya”

Dalam hadits yang lain

إِنَّ اللَّهَ يُدْنِي الْمُؤْمِنَ فَيَضَعُ عَلَيْهِ كَنَفَهُ وَيَسْتُرُهُ فَيَقُولُ أَتَعْرِفُ ذَنْبَ كَذَا أَتَعْرِفُ ذَنْبَ كَذَا فَيَقُولُ نَعَمْ أَيْ رَبِّ حَتَّى إِذَا قَرَّرَهُ بِذُنُوبِهِ وَرَأَى فِي نَفْسِهِ أَنَّهُ هَلَكَ قَالَ سَتَرْتُهَا عَلَيْكَ فِي الدُّنْيَا وَأَنَا أَغْفِرُهَا لَكَ الْيَوْمَ فَيُعْطَى كِتَابَ حَسَنَاتِهِ

“Sesungguhnya Allah mendekatkan seorang mukmin (kepadaNya) lalu Allah meletakan tutupanNya (الكَنَفُ asalnya berarti sayap burung yang digunakan untuk menutup dirinya dan telurnya –pent) dan menutupinya, lalu Allah berkata, “Tidakkah tahu dosa ini, apakah kau tahu dosa ini?”. Maka sang hamba berkata, “Iya Robbku”. Hingga tatkala ia mengakui dosa-dosanya dan memandang bahwa dirinya telah binasa, maka Allah berkata, “Aku telah menutupnya di dunia, dan aku mengampunimu pada hari ini”. Lalu diberikan buku catatan kebaikan-kebaikannya” (HR Al-Bukhari no 2441). Dan dalam kondisi seperti ini maka tangan dan kaki tidak menjadi saksi, cukup Allah yang memaparkan dosa-dosanya.

Dan tidak mesti semua dosa dipaparkan oleh Allah, sebagaimana dalam hadits yang lain Nabi bersabda :

اعْرِضُوا عَلَيْهِ صِغَارَ ذُنُوبِهِ، وَارْفَعُوا عَنْهُ كِبَارَهَا…. يَا رَبِّ قَدْ عَمِلْتُ أَشْيَاءَ لَا أَرَاهَا هَاهُنَا

Allah berkata, “Paparkan baginya dosa-dosa kecilnya dan hilangkan dosa-dosa besarnya…(sang hamba berkata), “Wahai Robbku, aku telah melakukan dosa-dosa yang lain, yang aku tidak melihatnya di sini” (HR Muslim no 190)

Ketiga : Masuk surga setelah dihisab dengan hisab munaqosyah dan setelah disiksa di neraka.

Ibnu Hajar berkata :

وَالْمُرَادُ بِالْمُنَاقَشَةِ الِاسْتِقْصَاءُ فِي الْمُحَاسَبَةِ وَالْمُطَالَبَةُ بِالْجَلِيلِ وَالْحَقِيرِ وَتَرْكِ الْمُسَامَحَةِ

“Yang dimaksud dengan munaqosyah adalah detail dan rinci dalam pengauditan, dan penuntutan segala dosa baik yang besar maupun yang kecil, disertai tanpa pemaafan” (Fathul Baari 11/401)

Yang ini melazimkan ketersiksaan. Nabi bersabda مَنْ نُوقِشَ الْحِسَابَ عُذِّبَ (Barang siapa yang disidang secara rinci tatkala hisab maka dia disiksa). Dia akan tersiksa dari dua sisi, (1) tatkala disidang, dan (2) tatkala masuk neraka setelah persidangan.

Orang yang bertauhid secara umum akan dihisab dengan hisab yang mudah (‘ardh/pemaparan) berdasarkan keumuman ayat, akan tetapi orang-orang yang mentahqiq (memurnikan) tauhid maka mereka akan masuk surga tanpa hisab sama sekali.

Bab ini merupakan penyempurna dari bab sebelumnya, karena diantara keutamaan tauhid yang paling utama adalah menjadikan orang yang memurnikannya bisa masuk surga tanpa hisab, dan tentunya jika tanpa hisab lebih utama lagi tanpa adzab.

Jika bab sebelumnya menjelaskan tentang keutamaan orang-orang yang bertauhid secara umum yang mencakup para ahli tauhid yang masih terjerumus dalam dosa dan bid’ah, maka pada bab ini khusus menjelaskan tingkatan ahli tauhid yang lebih tinggi yaitu yang memurnikan tauhid dari segala yang mengotori kesempurnaannya. Kotoran-kotoran tersebut adalah kesyirikan, bid’ah dan ishror (terus menerus terjerumus) dalam maksiat. Dan diantara ciri mereka adalah memurnikan tawakkal, sehingga bahkan mereka bukan saja meninggalkan kemaksiatan tapi juga berusaha meninggalkan perkara yang makruh demi kesempurnaan tawakkal (sebagaimana akan datang penjelasannya). Inilah golongan yang Allah sebut dalam Al-Qur’an sebagai سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ  “yang berlomba melakukan kebajikan” dalam firmanNya :

ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ وَمِنْهُمْ مُقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللَّهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيرُ (32) جَنَّاتُ عَدْنٍ يَدْخُلُونَهَا يُحَلَّوْنَ فِيهَا مِنْ أَسَاوِرَ مِنْ ذَهَبٍ وَلُؤْلُؤًا وَلِبَاسُهُمْ فِيهَا حَرِيرٌ

Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan diantara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar.  (Bagi mereka) surga ´Adn mereka masuk ke dalamnya, di dalamnya mereka diberi perhiasan dengan gelang-gelang dari emas, dan dengan mutiara, dan pakaian mereka didalamnya adalah sutera (QS. Faathir : 32-33)

Pada bab ini penulis menyebutkan 3 dalil

([2] )  Dalil Pertama : Contoh seorang yang telah memurnikan tauhid yaitu Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Tentu tidak diragukan Nabi Ibrahim dialah yang telah menghancurkan berhala-berhala kaumnya, dialah yang telah berdebat juga dengan para penyembah benda-benda langit –sebagaimana telah lalu-. Karena membela tauhid beliau dilemparkan dalam lautan api, karena membela tauhid beliau diusir oleh ayahnya bahkan oleh kaumnya. Dan itu beliau hadapi seluruhnya dalam kondisi sendirian, tidak ada seorangpun yang bertauhid selain beliau.

Beliau pula yang telah mendapat predikat Khalilurrahman (kekasih Allah), yang telah diuji oleh Allah dengan ujian yang berat. Harus meninggalkan istrinya Hajar dan anaknya Isma’il di negeri yang tandus setelah sekian lama menanti kelahiran seorang anak. Beliau juga yang dengan tabahnya siap untuk menyembelih putranya Isma’il setelah mencapai umur remaja dimana hati seorang ayah sangat mencintai sang anak dalam usia remaja.

Ada 4 sifat Nabi Ibrahim yang Allah sebutkan dalam ayat ini :

Pertama : (كَانَ أُمَّةً) Beliau adalah Ummat. Ada dua makna dari kata “Ummat”, yang pertama adalah beliau adalah seorang Imam atau pemimpin atau qudwah (tauladan). Kedua ummat artinya seseorang yang memiliki sifat-sifat mulia yang banyak yang biasanya tersebar pada banyak orang, akan tetapi sifat-sifat tersebut terkumpulkan pada satu orang.

Dan seseorang tidak bisa mendapatkan predikat Imam kecuali jika telah terkumpul padanya kesabaran dan keyakinan. Allah berfirman

وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ

 Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami (QS. As-Sajdah : 24)

Tentu tidak diragukan lagi akan keyakinan Ibrahim dan kesabarannya menghadapai semua cobaan dan rintangan dalam dakwah tauhid.

Kedua : (قَانِتاً) dan al-qunut artinya adalah دَوَامُ الطَّاعَةِ senantiasa dalam ketaatan kepada Allah, tegar dan kokoh dalam mentaati perintah Allah

Ketiga : (حَنِيْفًا) yaitu condong menjauh dari kesyirikan menuju tauhid.

Keempat : Karenanya di akhir ayat (وَلَمْ يَكُ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ) yaitu “Beliau bukanlah termasuk orang-orang musyrik” yang merupakan penekanan bahwa beliau selalu dalam kondisi bertauhid, beliau sama sekali tidak pernah berbuat kesyirikan. Dan huruf (لَمْ) dalam ayat ini (وَلَمْ يَكُ) adalah harfu qolab yang fungsinya adalah mengubah fi’il mudhori’ (yang menunjukkan kata kerja yang sedang berlangsung atau akan datang) menjadi fi’il madhi (yang menunjukkan kata kerja di masa lampau), sehingga terjemahan dari ayat ini adalah “Beliau tidak pernah sama sekali termasuk orang-orang musyrik”. Dan ini membantah pendapat yang menyatakan bahwa beliau pernah dalam kondisi kafir lalu melakukan proses mencari Tuhan.

Kelima : Lanjutan dari ayat ini, Allah menyebutkan sifat berikutnya :

شَاكِرًا لِأَنْعُمِهِ

(lagi) yang mensyukuri nikmat-nikmat Allah (QS. An-Nahl : 121)

Firman Allah (أَنْعُمِ) adalah jama’ taksir dengan wazan أَفْعُل yang merupakan salah satu dari 4 wazan (timbangan) jam’u al-Qillah, yaitu jama’ yang menunjukkan bilangan dari 3 hingga 10. Yaitu Ibrahim ‘alaihis salam bersyukur dengan seluruh kenikmatan yang Allah berikan kepada beliau bahkan atas nikmat-nikmat yang sedikit, apalagi terhadap nikmat-nikmat yang banyak. (Lihat Fathul Qodir 3/241)

Dengan lima sifat ini Allah menganugrahkan kepada beliau lima kemuliaan.

Pertama : (اجْتَبَاهُAllah telah memilihnya

Kedua : (وَهَدَاهُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍdan Allah menunjukinya kepada jalan yang lurus (QS. An-Nahl : 121)

Ketiga :  (وَآتَيْنَاهُ فِي الدُّنْيَا حَسَنَةًDan Kami berikan kepadanya kebaikan di dunia

Yaitu الذِّكْرُ الْحَسَنُ sebutan yang baik, semua penganut agama samawiyah (termasuk yahudi dan nashrani) memuji beliau bahkan mengaku-ngaku sebagai pengikut beliau. Qotadah rahimahullah berkarta tentang ayat ini :

فَلَيْسَ مِنْ أَهْلِ دِينٍ إِلَّا يَتَوَلَّاهُ وَيَرْضَاهُ

“Tidak seorangpun pengikut agama kecuali mencintainya dan ridha kepadanya” (Tafsir at-Thabari 14/398)

Keempat : (وَإِنَّهُ فِي الْآخِرَةِ لَمِنَ الصَّالِحِينَDan sesungguhnya dia di akhirat benar-benar termasuk orang-orang yang shaleh (QS. An-Nahl : 122), yaitu termasuk penghuni surga

Kelima: (ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَKemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): “Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif” dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan (QS. An-Nahl : 123). Yaitu Allah menjadikannya imam (panutan) bahkan Allah memerintahkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam untuk mengikuti ajaran Nabi Ibrahim ‘alaihis salam.

([3]) Dalil Kedua : Sisi pendalilannya adalah Allah telah memuji kaum mukminin dengan menyebutkan sifat-sifat mereka, yang diantaranya adalah mereka tidak berbuat kesyirikan.

Ayat-ayat selengkapnya adalah :

إِنَّ الَّذِينَ هُمْ مِنْ خَشْيَةِ رَبِّهِمْ مُشْفِقُونَ (57) وَالَّذِينَ هُمْ بِآيَاتِ رَبِّهِمْ يُؤْمِنُونَ (58) وَالَّذِينَ هُمْ بِرَبِّهِمْ لَا يُشْرِكُونَ (59) وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ (60)

Sesungguhnya orang-orang yang berhati-hati karena takut akan (azab) Tuhan mereka. Dan orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Tuhan mereka. Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan dengan Tuhan mereka (sesuatu apapun). Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka (Al-Mukminun : 57-60)

Di akhir ayat, Allah menyebutkan sifat mereka yang menunjukkan mereka adalah orang-orang yang telah memurnikan tauhid, yaitu orang-orang yang bersegera dalam melakukan kebaikan. Allah berfirman:

أُولَئِكَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ (61)

mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya (QS. Al-Mukminun : 61)

([4]) Ruqyah, maksudnya di sini, ialah: penyembuhan dengan bacaan ayat-ayat Al qur’an atau dengan doa-doa yang diajarkan oleh Nabi (akan datang penjelasannya lebih detail).

([5]) ‘Ain, yaitu: pengaruh jahat yang disebabkan oleh rasa dengki seseorang dengan pandangan matanya, dan terkadang karena rasa kagum. Cara penyembuhannya adalah dengan meminta sisa mandi orang yang dicurigai telah timbul ‘ain darinya, lalu ditumpahkan ke tubuh orang yang terkena ain. Karenanya Nabi bersabda :

الْعَيْنُ حَقٌّ، وَلَوْ كَانَ شَيْءٌ سَابَقَ الْقَدَرَ سَبَقَتْهُ الْعَيْنُ، وَإِذَا اسْتُغْسِلْتُمْ فَاغْسِلُوا

“Ain adalah benar. Kalau ada sesuatu yang bisa mendahului taqdir  maka ‘ain akan mendahuluinya. Dan jika kalian diminta untuk mandi maka mandilah” (HR Muslim no 2188)

Maksud Nabi yaitu penekanan dalam menjelaskan begitu cepatnya pengaruh ‘ain, karena ‘ain tidak akan mendahului atau merubah taqdir, bahkan ‘ain adalah bagian dari taqdir. Akan tetapi hiperbola ini digunakan oleh Nabi untuk menekankan pengaruh ‘ain yang begitu kuat dan cepat. (Lihat Fathul Baari 10/203-204)

Hadits ini juga menjelaskan diantara obat ‘ain adalah meminta orang yang diduga penyebab ‘ain untuk mandi dan sisa mandinya digunakan untuk menyiram tubuh orang yang sakit karena ‘ain.

Pada suatu riwayat :

اغتسل أَبِي سَهْلُ بْنُ حُنَيْفٍ بِالْخَرَّارِ، فَنَزَعَ جُبَّةً كَانَتْ عَلَيْهِ وَعَامِرُ بْنُ رَبِيعَةَ يَنْظُرُ، قَالَ: وَكَانَ سَهْلٌ رَجُلاً أَبْيَضَ، حَسَنَ الْجِلْدِ، قَالَ: فَقَالَ عَامِرُ بْنُ رَبيعَةَ: مَا رَأَيْتُ كَالْيَوْمِ وَلا جِلْدَ عَذْرَاءَ، فَوُعِكَ سَهْلٌ مَكَانَهُ، فَاشْتَدَّ وَعْكُهُ، فَأُتِي رَسُولُ الله – صلى الله عليه وسلم – فَأُخْبِرَ أَنَّ سَهْلاً وُعِكَ وَأَنَّهُ غَيرُ رَائِحٍ مَعَكَ يَا رسول الله، فَاَتَاهُ رَسُولُ الله – صلى الله عليه وسلم – فَأَخْبَرَهُ سَهْل بالَّذِي كَانَ مِنْ شَأنِ عَامِرِ بْنِ رَبِيعَةَ، فَقَالَ رَسُولُ الله – صلى الله عليه وسلم -: “عَلاَمَ يَقْتُلُ أًحَدُكمْ أَخَاهُ؟ أَلا بَرَّكْتَ؟، إِنَّ الْعَيْنَ حَقٌّ، تَوَضَّأْ لَهُ”. فَتَوَضَأَ لَهُ عَامِرُ بْنُ رَبِيعَةَ، فَرَاحَ سَهْل مَعَ رَسُولِ الله – صلى الله عليه وسلم – لَيْسَ بِهِ بَأْسٌ

Sahl bin Hunaif mandi di al-Khorror (nama sebuah tempat di Madinah). Iapun membuka bajunya, sementara ‘Amir bin Robi’ah melihatnya. Dan Sahl adalah seorang yang berkulit putih dan indah. Maka ‘Amir bin Robi’ah berkata, “Aku tidak pernah melihat kulit (indah) seperti yang kulihat pada hari ini, bahkan mengalahkan kulit wanita gadis”. Maka Sahlpun sakit seketika, dan sakitnya semakin parah. Lalu dikabarkan kepada Nabi “Sahl  sakit dan ia tidak bisa berangkat bersama Engkau wahai Rasulullah”. Maka Nabipun mendatangi Sahl, lalu Sahl bercerita kepada Nabi tentang perkataan ‘Amir bin Robi’ah, maka Nabi berkata, “Atas dasar apa seseorang menyakiti saudaranya?”. Kenapa engkau tidak mendoakan keberkahan? (yaitu dengan berkata Baarokallahu fiik atau Tabaarokallahu Ahsanul Kholiqin –pent), sesungguhnya ‘ain itu benar adanya, berwudulah untuknya”. ‘Amir lalu berwudhu untuk (disiramkan air bekas wudhunya) ke Sahl, maka Sahl-pun berangkat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam kondisi sehat” (HR Malik di Al-Muwattho’ no 1678, Ibnu Hiban no 6105).

Dalam riwayat yang lain

فَأَمَرَ عَامِرًا أَنْ يَتَوَضَّأَ، فَغَسَلَ وَجْهَهُ وَيَدَيْهِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ، وَرُكْبَتَيْهِ وَدَاخِلَةَ إِزَارِهِ، وَأَمَرَهُ أَنْ يَصُبَّ عَلَيْهِ

“Lalu Nabi memerintahkan Amir untuk berwudhu. Lalu Amir membasuh wajah dan kedua tangannya hingga kedua sikunya, membasuh kedua lututnya dan bagian dalam sarungnya. Lalu Nabi memerintahkannya untuk menumpahkannya kepada Sahl” (HR Ibnu Majah no 3509). Adapun yang dimaksud dengan “bagian dalam sarungnya” maka ada yang mengatakan maksudnya adalah pantatnya, ada yang mengatakan maksudnya adalah bagian tubuh yang berada di balik sarung. (Lihat Fathul Baari 10/204)

Aisyah berkata :

كانَ يُؤمَر العائِنُ، فيتوضّأُ، ثم يَغْتَسِلُ منه المَعِينُ

Orang penyebab ‘ain diperintahkan untuk berwudhu lalu orang yang terkena penyakit ‘ain mandi dari sisa air wudhu tersebut (HR Abu Dawud no 3885)

Dan diantara obat penyembuh penyakit karena ‘ain adalah dengan diruqyah sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits ini.

Adapun sabda Nabi (Tidak ada Ruqyah kecuali karena ‘ain atau terkena sengatan) maksudnya adalah tidak ada ruqyah yang paling mujarrob seperti manjurnya untuk mengobati ‘ain dan sengatan binatang berbisa. Karena pengobatan dengan al-Qur’an mencakup seluruh penyakit, baik penyakit rohani maupaun jasmani. Allah berfirman :

وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ وَلَا يَزِيدُ الظَّالِمِينَ إِلَّا خَسَارًا

Dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi obat dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian (QS. Al-Israa’ : 82)

Dan pembatas nisbi seperti ini sama seperti sabda Nabi لاَ رِبَا إَلاَّ فِي النَّسِيْئَةِ (Tidak ada riba kecuali riba nasi’ah), padahal riba fadhl juga merupakan riba, hanya saja yang dipraktikkan oleh kaum musyrikin jahiliyah adalah riba nasi’ah.

([6]) Meminta untuk diruqyah hukumnya adalah boleh, namun meskipun boleh ia mengurangi kemurnian tauhid karena termasuk bentuk meminta kepada makhluk. Di sisi yang lain ketergantungan hati orang yang diruqyah dengan peruqyah sangat besar, sehingga hal ini mengurangi kesempurnaan tawakkal.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

«مَنِ اكْتَوَى، أَوِ اسْتَرْقَى، فَقَدْ بَرِئَ مِنَ التَّوَكُّلِ»

“Barangsiapa melakukan pengobatan dengan cara membakar diri dengan besi panas atau meminta diruqyah, maka dia tidak memiliki rasa tawakkal.” (HR Ibnu Majah No. 3489 dan dishahihkan oleh Al-Albani)

Adapun meruqyah maka dibolehkan bahkan dianjurkan jika berniat untuk menolong saudara. Tatkala ada seseorang bertanya kepada Nabi, يَا رَسُولَ اللهِ أَرْقِي؟ “Wahai Rasulullah apakah boleh aku meruqyah?”. Nabi menjawab :

مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ يَنْفَعَ أَخَاهُ فَلْيَفْعَلْ

“Barang siapa yang mampu untuk memberi manfaat kepada saudaranya maka lakukanlah” (HR Muslim no 2199).

Oleh karenanya Nabi meruqyah para sahabat dan malaikat Jibril juga meruqyah Nabi.

Demikian juga kalau ada yang meruqyah kita tanpa kita memintanya, maka hal ini juga tidak mengapa.

Bagiamana jika seorang ayah meminta ruqyah kepada anaknya, apakah ini mengurangi kesempurnaan tawakkalnya?.

Kita harus mengenal ‘illah (sebab) kenapa meminta orang lain untuk meruqyah mengurangi kesempurnaan tawakkal?, karena hal tersebut adalah bentuk meminta-minta kepada orang lain, yang melazimkan kita merasa rendah di hadapannya. Dan semua bentuk permintaan yang menjadikan hati kita bergantung kepada makhluk dan menjadikan kita rendah di hadapan makhluk maka akan mengurangi kesempurnaan tawakkal kita kepada Allah. Nabi pernah membai’at para sahabat untuk tidak meminta kepada orang lain. Sampai-sampai ada sahabat yang terjatuh pecutnya maka ia tidak menyuruh orang lain untuk mengambilkan untuknya tapi ia turun dari tunggangannya untuk mengambil sendiri. (lihat HR Muslim no 1043). Akan tetapi banyak hadits yang menunjukkan bahwa Nabi memerintahkan istrinya atau pembantunya atau sebagian sahabatnya. Ini menunjukkan jika permintaan kepada orang lain tidak menimbulkan rasa rendah diri maka hal ini tidak mencela kemurnian tauhid. Seperti bos yang memerintah anak buahnya, ayah meminta kepada anaknya, suami meminta kepada istrinya, anak meminta kepada bapaknya, istri meminta kepada suaminya, dan seterusnya. Oleh karenanya sebagian ulama memandang bahwa meminta ruqyah kepada suami atau istri atau anak atau bapak maka hal ini tidak mengurangi kemurnian tauhid sama sekali.

Namun sebagian ulama berpendapat makruhnya meminta ruqyah dalam bentuk apapun meskipun tanpa disertai perasaan rendah, sehingga hendaknya seorang seseorang tidak meminta ruqyah meskipun kepada anak dan istrinya. Pendapat ini tentu lebih hati-hati.

Sebagian ulama bahkan berpendapat bolehnya meminta ruqyah jika memang benar-benar membutuhkan. Syaikh Bin Baaz rahimahullah berkata :

ولكن الاسترقاء لا يمنع كونه من السبعين، والاسترقاء: طلب الرقية، وإذا دعت الحاجة إلى هذا فلا بأس، النبي صلى الله عليه وسلم أمر عائشة أن تسترقي، وأمر أم أولاد جعفر أن تسترقي لأولادها، فلا حرج في ذلك

“Akan tetapi meminta ruqyah tidak menghalanginya termasuk dalam 70 ribu orang (yang masuk surga tanpa adzab dan hisab). Dan meminta ruqyah jika memang ada keperluan maka tidak mengapa. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan Aisyah untuk meminta ruqyah, dan memerintahkan ibu dari anak-anaknya Ja’far bin Abi Tholib untuk meminta orang meruqyah anak-anaknya, maka tidak mengapa” (Fataawaa Nuur ‘ala ad-Darb 1/76)

Dalil akan hal ini diantaranya :

عَنْ عَائِشَةَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: «أَمَرَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ أَمَرَ أَنْ يُسْتَرْقَى مِنَ العَيْنِ»

Dari Aisyah radhiallahu ‘anhaa berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan aku atau beliau memerintahkan untuk meminta ruqyah karena ‘ain” (HR al-Bukhari No. 5738)

Dalam riwayat muslim :

«كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْمُرُنِي أَنْ أَسْتَرْقِيَ مِنَ الْعَيْنِ»

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan aku agar aku meminta ruqyah karena ‘ain” (HR Muslim No. 2195)

عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى فِي بَيْتِهَا جَارِيَةً فِي وَجْهِهَا سَفْعَةٌ، فَقَالَ: «اسْتَرْقُوا لَهَا، فَإِنَّ بِهَا النَّظْرَةَ»

Dari Ummu Salamah radhiallahu ‘anhaa bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melihat di rumahnya ada seorang budak wanita yang wajahnya ada warna kekuning-kuningan, maka beliau berkata, “Mintalah ruqyah untuk budak wanita ini, karena ia kena ‘ain” (HR Al-Bukhari No. 5739, lihat penjelasan Ibnu Hajar di Fathul Baari 10/202)

عَنْ عُبَيْدِ بْنِ رِفَاعَةَ الزُّرَقِيِّ، قَالَ: قَالَتْ أَسْمَاءُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ بَنِي جَعْفَرٍ تُصِيبُهُمُ الْعَيْنُ، فَأَسْتَرْقِي لَهُمْ قَالَ: «نَعَمْ، فَلَوْ كَانَ شَيْءٌ سَابَقَ الْقَدَرَ، سَبَقَتْهُ الْعَيْنُ»

Dari ‘Ubaid bin Rifaa’ah az-Zuroqy ia berkata, Asma’ (binti ‘Umais) berkata, “Ya Rasulullah sesungguhnya anak-anak Ja’far (bin Abi Tholib) terkena ‘ain, apakah aku meminta ruqyah untuk mereka?”. Nabi berkata, “Iya, kalau ada sesuatu yang mendahului taqdir maka taqdir akan didahului oleh ‘ain” (HR Ibnu Majah No. 3510 dan dishahihkan oleh Al-Albani)

([7]) Tathayyur ialah: merasa pesimis, merasa bernasib sial, atau meramal nasib buruk karena melihat burung, binatang lainnya atau apa saja (akan datang penjelasannya dengan lebih detail)

([8]) Berobat dengan kay hukumnya makruh, karena mirip dengan bentuk penyiksaan dengan api. Dan yang berhak menyiksa dengan api hanyalah pencipta api yaitu Allah. Akan tetapi Nabi pernah meng-kay sebagian sahabat, Jabir berkata :

رُمِيَ سَعْدُ بْنُ مُعَاذٍ فِي أَكْحَلِهِ، قَالَ: «فَحَسَمَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدِهِ بِمِشْقَصٍ، ثُمَّ وَرِمَتْ فَحَسَمَهُ الثَّانِيَةَ»

“Sa’ad bin Mu’adz terkena panah di lengan bawahnya, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun meng-kay beliau dengan besi yang panjang (namun tidak lebar), kemudian lukanya tersebut bengkak, maka Nabipun meng-kay beliau kedua kali” (HR Muslim no 2208)

Nabi juga pernah mengirim tabib untuk mengkay, Jabir berkata :

مَرِضَ أُبَيُّ بْنُ كَعْبٍ مَرَضًا، فَأَرْسَلَ إِلَيْهِ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – طَبِيبًا، فَكَوَاهُ عَلَى أَكْحَلِهِ

“Ubay bin Ka’ab pernah sakit parah, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengirim tabib, lalu tabib tadi meng-kay di lengan bawah Ubay” (HR Ibnu Majah no 3493)

Sehingga kay dibolehkan jika memang diperlukan. Karenanya yang menjadi permasalahan utama adalah bukan melakukan kay tapi berobat dengan minta untuk di-kay karena ada bentuk meminta dan ketergantungan kepada orang lain. Terlebih lagi dahulu orang-orang Arab meyakini kalau pengobatan dengan menggunakan kay pasti berhasil. Sehingga ada pepatah mereka : آخِرُ الدَّوَاءِ الْكَيُّ “Obat yang terakhir adala kay”, yang menimbulkan bentuk ketergantungan hati kepada pengobatan kay.

Ibnu Hajar rahimahullah berkata :

وَإِنَّمَا نَهَى عَنْهُ مَعَ إِثْبَاتِهِ الشِّفَاءَ فِيهِ إِمَّا لِكَوْنِهِمْ كَانُوا يَرَوْنَ أَنَّهُ يَحْسِمُ الْمَادَّةَ بِطَبْعِهِ فَكَرِهَهُ لِذَلِكَ وَلِذَلِكَ كَانُوا يُبَادِرُونَ إِلَيْهِ قَبْلَ حُصُولِ الدَّاءِ لِظَنِّهِمُ أَنَّهُ يحسم الدَّاء فيتعجل الَّذِي يَكْتَوِي التَّعْذِيبَ بِالنَّارِ لِأَمْرٍ مَظْنُونٍ وَقَدْ لَا يَتَّفِقُ أَنْ يَقَعَ لَهُ ذَلِكَ الْمَرَضُ الَّذِي يَقْطَعُهُ الْكَيُّ وَيُؤْخَذُ مِنَ الْجَمْعِ بَيْنَ كَرَاهَتِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلْكَيِّ وَبَيْنَ اسْتِعْمَالِهِ لَهُ أَنَّهُ لَا يُتْرَكُ مُطْلَقًا وَلَا يُسْتَعْمَلُ مُطْلَقًا بَلْ يُسْتَعْمَلُ عِنْدَ تَعَيُّنِهِ طَرِيقًا إِلَى الشِّفَاءِ مَعَ مُصَاحَبَةِ اعْتِقَادِ أَنَّ الشِّفَاءَ بِإِذْنِ اللَّهِ تَعَالَى

“Dan hanyalah Nabi melarang kay padahal Nabi menetapkan ada pengobatan dengan kay, karena mereka dahulu memandang bahwa kay itu bisa menghilangkan penyakit dengan sendirinya -secara tabi’at kay itu sendiri-. Karenanya Nabi membenci kay. Karenanya mereka dahulu segera langsung melakukan kay sebelum munculnya penyakit karena mereka menyangka bahwa kay bisa menghilangkan penyakit. Akhirnya orang yang meminta kay terburu-buru merasakan penyiksaan dengan api hanya karena suatu perkara yang masih berupa persangkaan, dan bisa jadi kebetulan penyakit tersebut ternyata tidak menimpanya yaitu penyakit yang bisa dihilangkan dengan kay.

Dan cara mengkompromikan antara bencinya Nabi terhadap kay dengan sikap beliau yang melakukan kay adalah tidak menggunakan kay secara mutlak dan tidak juga meninggalkan kay secara mutlak. Akan tetapi digunakan kay tatkala dipastikan kay merupakan jalan untuk kesembuhan disertai keyakinan bahwa kesembuhan hanya terjadi dengan izin Allah (Fathul Baari 10/138-139)

Adapun pengobatan dengan cara yang lain maka tidak bisa diqiyaskan dengan pengobatan Kay, karena Kay adalah bentuk pembakaran besi dengan api. Selain itu banyak dalil yang menunjukkan Nabi memerintahkan untuk berobat, demikian juga datang dalil-dalil memuji obat-obat tertentu, seperti madu dan al-habbat as-Saudaa’.

([9])Ini merupakan bantahan kepada ahlul kalam yang menyatakan bahwa Nabi Ibrahim mencari Tuhan dengan mengamati bulan, bintang, dan matahari. Karena jika perkaranya demikian berarti Nabi Ibrahim pernah musyrik sehingga mencari Tuhan, padahal Allah menyatakan bahwa beliau sama sekali tidak pernah melakukan kesyirikan. Yang benar bahwasanya Nabi Ibrahim memandang benda-benda langit dalam rangka mendebat kaumnya yang menyembah benda-benda langit tersebut –sebagaimana telah lalu penjelasannya-.

([10]) Khilaf dikalangan para ulama, apakah Nabi dinampakkan hal tersebut tatkala beliau isro’ ataukah dalam mimpi?

([11]) Sifat ingin dipuji pada perkara yang tidak dilakukan merupakan sifat tercela. Allah berfirman :

لَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَفْرَحُونَ بِمَا أَتَوْا وَيُحِبُّونَ أَنْ يُحْمَدُوا بِمَا لَمْ يَفْعَلُوا فَلَا تَحْسَبَنَّهُمْ بِمَفَازَةٍ مِنَ الْعَذَابِ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

Janganlah sekali-kali kamu menyangka, hahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa, dan bagi mereka siksa yang pedih (QS. Ali ‘Imran : 188)

As-Sa’di berkata, “Mafhum (kebalikan) dari ayat ini menunjukkan bahwa orang yang senang jika dipuji dan disanjung dengan kebaikan dan kebenaran yang ia kerjakan –jika tujuannya bukan karena riya’ dan sum’ah- maka tidak tercela. Bahkan ini merupakan perkara yang dicari dimana Allah telah mengabarkan bahwa Allah membalas orang-orang yang baik perbuatan dan perkataannya dengan sebutan dan sanjungan yang baik, dan Allah membalas dengan cara ini bagi orang-orang yang istimewa, dan mereka telah meminta hal ini kepada Allah. Nabi Ibrahim berkata :

وَاجْعَلْ لِي لِسَانَ صِدْقٍ فِي الْآخِرِينَ

“Dan jadikanlah aku buah tutur yang baik bagi orang-orang (yang datang) kemudian” (Asy-Syu’ara’ : 84)” (Tafsir As-Sa’di hal 160)

Demikian juga bahwa pujian tersebut merupakan kabar gembira yang disegerakan. Nabi ditanya :

أَرَأَيْتَ الرَّجُلَ يَعْمَلُ الْعَمَلَ مِنَ الْخَيْرِ، وَيَحْمَدُهُ النَّاسُ عَلَيْهِ؟ قَالَ: «تِلْكَ عَاجِلُ بُشْرَى الْمُؤْمِنِ»

“Bagaimana menurut Anda tentang seseorang yang beramal kebajikan dan orang-orangpun memujinya?” Nabi berkata, “Itu adalah kabar gembira yang disegerakan bagi seorang mukmin” (HR Muslim  no 2642)

([12]) Karena beliau bersabda kepada orang tersebut: “Kamu sudah kedahuluan Ukasyah”, dan tidak bersabda kepadanya: “Kamu tidak pantas untuk dimasukkan ke dalam golongan mereka”. Karena jika Nabi mengucapkan demikian maka akan menyakiti hati orang tersebut.

Sebagian ulama berpendapat bahwa orang tersebut adalah munafiq karena Nabi tidak mendoakannya. Namun –wallahu a’lam– tidak ada dalil akan hal ini. Jika ia seorang munafik maka buat apa ia meminta doa kepada Nabi sementara hatinya tidak beriman dengan Nabi. Akan tetapi Nabi tidak mendoakannya dalam rangka menutup pintu, karena jika Nabi mengatakan engkau juga termasuk dalam 70 ribu maka akan ada yang meminta setelahnya untuk didoakan juga. Sehingga akhirnya akan ada orang yang tidak berhak untuk didoakan lantas tidak didoakan Nabi sehingga akan menyakiti hatinya.

([13]) Selain menunjukkan akhlak Nabi yang mulia juga menunjukkan cerdasnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dimana Nabi menggunakan kata kiasan untuk tidak mendoakan orang tersebut dengan kata-kata yang tidak menyinggung perasaannya dan sekaligus menutup pintu untuk dimintai doa oleh seluruh yang hadir. Seandainya Nabi berkata, “Engkau tidak pantas”, atau “Ini adalah kedudukan yang tinggi, engkau belum mampu” atau yang semisalnya maka tentu akan membuatnya jadi futur (mutung dan tidak semangat).

Minggu, 26 Juli 2020

Penjelasan Kitab Tauhid BAB 2 – Keutamaan Tauhid dan Dosa-dosa yang Digugurkannya

BAB 2

فَضْلُ التَّوْحِيْدِ وَ مَا يُكَفِّرُ مِنَ الذُّنُوْبِ

KEUTAMAAN TAUHID DAN DOSA-DOSA YANG DIGUGURKANNYA([1])

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُم بِظُلْمٍ أُولَـٰئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُم مُّهْتَدُونَ

“Orang-orang yang beriman dan tidak menodai keimanan  mereka dengan kedzhaliman (kemusyrikan), mereka itulah orang-orang yang mendapat ketentraman dan mereka itulah orang-orang yang mendapat jalan hidayah.”   (QS. Al An’am: 82). ([2])

Ubadah bin Shamit  radhiallahu ‘anhu menuturkan:  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

(( مَنْ شَهِدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهَ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، وَأَنَّ عِيْسَى عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُهُ، وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَى مَرْيَمَ وَرُوْحٌ مِنْهُ وَالْجَنَّةُ حَقٌّ وَالنَّارُ حَقٌّ أَدْخَلَهُ اللهُ الْجَنَّةَ عَلَى مَا كَانَ مِنَ الْعَمَلِ ))

“Barangsiapa yang bersyahadat bahwa tidak ada sesembahan yang hak (benar) selain Allah saja, tiada sekutu bagi-Nya, dan Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya, dan bahwa Isa adalah hamba dan Rasul-Nya, dan kalimat-Nya (yaitu kalimat كُنْ –pent) yang disampaikan kepada Maryam, serta Ruh dariNya (yaitu dari ruh-ruh ciptaan-Nya –pent) dan surga itu benar adanya, neraka juga benar adanya, maka Allah pasti memasukkannya ke dalam surga, bagaimanapun kondisi amal perbuatannya.” (HR. Bukhari & Muslim). ([3])

Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan pula hadits dari ‘Itban radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah bersabda:

(( فَإِنَّ اللهَ حَرَّمَ عَلَى النَّارِ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهَ يَبْتَغِي بِذَلِكَ وَجْهَ اللهِ ))

“Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala mengharamkan neraka bagi orang orang yang mengucapkanلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهَ  dengan ikhlas dan hanya mengharapkan (pahala melihat) wajah  Allah”. ([4])

Diriwayatkan dari Abu Said Al Khudri radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

(( قَالَ مُوْسَى يَا رَبِّ، عَلِّمْنِيْ شَيْئًا أَذْكُرُكَ وَأَدْعُوكَ بِهِ، قَالَ: قُلْ يَا مُوْسَى: لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهَ، قَالَ: يَا رَبِّ كُلُّ عِبَادِكَ يَقُوْلُوْنَ هَذَا، قَالَ: يَا مُوْسَى لَوْ أَنَّ السَّمَوَاتِ السَّبْعَ وَعَامِرَهُنَّ غَيْرِيْ وَالأَرْضِيْنَ السَّبْعَ فِيْ كِفَّةٍ، وَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهَ فِيْ كِفَّـةٍ، مَالَتْ بِهِـنَّ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهَ ))

“Musa berkata: “Ya Rabb, ajarkanlah kepadaku sesuatu untuk mengingat-Mu dan berdoa kepada-Mu”, Allah berfirman:” ucapkan hai Musa لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهَ Musa berkata: “ya Rabb, semua hamba-Mu mengucapkan itu”, Allah menjawab:” Hai Musa, seandainya ketujuh langit serta seluruh penghuninya –selain Aku- dan ketujuh bumi diletakkan dalam satu sisi timbangan dan kalimatلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهَ  diletakkan pada sisi lain timbangan, niscaya kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهَ  lebih berat timbangannya.” (HR. Ibnu Hibban, dan Hakim sekaligus menshahihkan-nya). ([5])

Tirmidzi meriwayatkan hadits (yang menurut penilaiannya hadits itu hasan) dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu ia berkata:  “aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

(( قَالَ اللهُ تَعَالَى: يَا ابْنَ آدَمَ، لَوْ أَتَيْتَنِيْ بِقُرَابِ الأَرْضِ خَطَايَا، ثُمَّ لَقِيْتَنِيْ لاَ تُشْرِكُ بِيْ شَيْئًا، لَأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً))

“Allah I berfirman: “Hai anak Adam, jika engkau datang kepada-Ku dengan membawa dosa sepenuh bumi, dan engkau ketika mati dalam keadaan tidak menyekutukan-Ku dengan sesuatupun, pasti Aku akan datang kepadamu dengan membawa ampunan sepenuh bumi pula”. ([6])

Kandungan bab ini:

  1. Luasnya karunia Allah ‘Azza wa Jalla.
  2. Besarnya pahala tauhid di sisi Allah ‘Azza wa Jalla.
  3. Dan tauhid juga dapat menghapus dosa.
  4. Penjelasan tentang ayat yang ada dalam surat Al  An’am.
  5. Perhatikan kelima masalah yang ada dalam hadits Ubadah.
  6. Jika anda memadukan antara hadits Ubadah, hadits Itban dan hadits sesudahnya, maka akan jelas bagi anda pengertian kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهَ juga kesalahan orang-orang yang tersesat karena hawa nafsunya.
  7. Perlu diperhatikan syarat-syarat yang disebutkan  dalam hadits Itban, (yaitu ikhlas semata-mata karena Allah, dan tidak menyekutukan-Nya).
  8. Para Nabipun perlu diingatkan akan keistimewaan لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهَ.
  9. Penjelasan bahwa kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهَ  berat timbangannya mengungguli berat timbangan seluruh makhluk, padahal banyak orang yang mengucapkan kalimat tersebut.
  10. Pernyataan bahwa bumi itu tujuh lapis seperti halnya langit.
  11. Langit dan bumi itu ada penghuninya.
  12. Menetapkan sifat-sifat Allah apa adanya, berbeda dengan pendapat  Asy’ariyah ([7]).
  13. Jika anda memahami hadits Anas, maka anda akan mengetahui bahwa sabda Rasul yang ada dalam hadits Itban: “sesungguhnya Allah mengharamkan masuk neraka bagi orang-orang yang mengucapkan لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهَ dengan penuh ikhlas karena Allah, dan tidak menyekutukan-Nya”, maksudnya adalah tidak menyekutukan Allah dengan sesuatupun, bukan hanya mengucapkan kalimat tersebut dengan lisan saja.
  14. Nabi Muhammad dan Nabi Isa adalah sama-sama hamba Allah dan Rasul-Nya.
  15. Mengetahui keistimewaan Nabi Isa, sebagai Kalimat Allah([8]).
  16. Mengetahui bahwa Nabi Isa adalah ruh di antara ruh-ruh yang diciptakan Allah.
  17. Mengetahui keistimewaan iman kepada kebenaran adanya surga dan neraka.
  18. Memahami sabda Rasul: “betapapun amal yang telah dikerjakannya”.
  19. Mengetahui bahwa timbangan (di hari kiamat) itu mempunyai dua daun.
  20. Mengetahui kebenaran adanya Wajah bagi Allah.

KETERANGAN:

([1]) Kaitan bab ini dengan bab sebelumnya sangat jelas. Jika di bab pertama dijelaskan tentang kewajiban tauhid disertai dengan menyinggung akan makna dan hakikat tauhid maka pada bab ini menjelaskan tentang keutamaannya, agar memotivasi untuk mempelajari dan menerapkan tauhid. Dan ini menunjukkan cerdasnya penulis, karena beliau menjelaskan terlebih dahulu kewajiban dan hakikat tauhid sebelum menjelaskan keutamaannya. Karenanya banyak orang yang bisa jadi paham tentang keutamaan tauhid namun tidak paham tentang hakikat tauhid. Kita dapati ada orang yang semangat berdzikir la ilaaha illallah, karena ia tahu akan keutamaannya, tapi ternyata ia terjerumus dalam kesyirikan karena ia tidak tahu tentang hakikat tauhid.

Huruf مَا pada judul فَضْلُ التَّوْحِيْدِ وَماَ يُكَفِّرُ مِنَ الذُّنُوْبِ bisa :

Pertama : Adalah  mausulah yang maknanya adalah الَّذِي sehingga jadilah judul tersebut maknanya : فَضْلُ التَّوْحِيْدِ وَالَّذِي يُكَفِّرُهُ مِنَ الذُّنُوْبِ Keutamaan tauhid dan dosa-dosa yang digugurkan oleh tauhid.

Kedua : Adalah masdariyah, sehingga jadilah makna judulnya : فَضْلُ التَّوْحِيْدِ وَتَكْفِيْرُهُ الذُّنُوْبَ Keutamaan tauhid dan tauhid menggugurkan dosa-dosa.

Dan yang kedua ini lebih utama, karena kalau dibawa kepada makna yang pertama bisa jadi ada persangkaan bahwa ada dosa-dosa yang tidak bisa digugurkan oleh tauhid, padahal tauhid bisa menggugurkan seluruh dosa.

Maka barangsiapa yang menyempurnakan tauhid dengan ketiga macamnya (tauhid ar-Rububiyah, tauhid al-Uluhiyah, dan tauhid al-Asmaa’ wa as-Sifaat) maka akan menggugurkan seluruh dosa-dosa. Semakin tinggi kualitas tauhid seseorang maka semakin besar potensi untuk menggugurkan dosa-dosa.

Dzahir dari judul penulis menunjukkan ada dua perkara, (1) keutamaan tauhid dan (2) tauhid adalah penggugur dosa-dosa. Karena kita tahu bahwasanya keutamaan tauhid bukan hanya menggugurkan dosa-dosa, akan tetapi banyak ketumaan-keutamaan yang lain seperti mendapatkan syafaat Nabi, masuk surga, dll. Dan judul bab tersebut termasuk dalam عَطْفُ الْخَاصِّ عَلَى الْعَامِ (menggandengkan yang khusus kepada yang umum), karena pengguguran dosa adalah bagian dari keutamaan tauhid. Akan tetapi kenapa penulis mengkhususkan penyebutan keutamaan “tauhid menggugurkan dosa-dosa?” dan tidak menyebutkan keutamaan yang lainnya?. Karena pentingnya keutamaan yang satu ini, karena keutamaan-keutamaan yang lainnya dibangun atas terhapusnya dosa-dosa. Seperti kapan seseorang masuk surga?, kapan seseorang mendapatkan keamanan dan ketentaraman di dunia dan akhirat?, semuanya didapatkan jika telah gugur dosa-dosa. Karenanya ampunan dari dosa-dosa merupakan ganjaran yang sering disebutkan oleh Allah dalam al-Qur’an dan juga sering dijadikan do’a oleh Nabi dalam hadits-haditsnya.

Pada bab ini penulis menyebutkan 5 dalil.

([2] )     Dalil pertama : Ayat ini menunjukkan bahwa orang yang bertauhid dan tidak mencampurkan keimanannya dengan kesyirikan maka baginya keamanan dan petunjuk. Beberapa pembahasan yang berkaitan dengan ayat ini :

Pertama : Ayat ini adalah penghujung dari ayat-ayat yang menceritakan perdebatan antara Nabi Ibrahim ‘alaihis salam dengan kaumnya yang menyembah bintang, bulan, dan matahari. Allah berfirman :

وَكَذَلِكَ نُرِي إِبْرَاهِيمَ مَلَكُوتَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَلِيَكُونَ مِنَ الْمُوقِنِينَ (75)

Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan bumi dan (Kami memperlihatkannya) agar dia termasuk orang yang yakin (QS. Al-An’aam : 75)

Jadi Nabi Ibrahim sebelum berdebat dengan kaumnya ia telah beriman dan yakin. Tidak sebagaimana pendapat kaum falasifah yang menyatakan bahwa Ibrahim sedang mencari Tuhan dengan mengamati benda-benda langit.

فَلَمَّا جَنَّ عَلَيْهِ اللَّيْلُ رَأَى كَوْكَبًا قَالَ هَذَا رَبِّي فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لَا أُحِبُّ الْآفِلِينَ (76) فَلَمَّا رَأَى الْقَمَرَ بَازِغًا قَالَ هَذَا رَبِّي فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لَئِنْ لَمْ يَهْدِنِي رَبِّي لَأَكُونَنَّ مِنَ الْقَوْمِ الضَّالِّينَ (77) فَلَمَّا رَأَى الشَّمْسَ بَازِغَةً قَالَ هَذَا رَبِّي هَذَا أَكْبَرُ فَلَمَّا أَفَلَتْ قَالَ يَا قَوْمِ إِنِّي بَرِيءٌ مِمَّا تُشْرِكُونَ (78)

Ketika malam telah gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: “Inilah Tuhanku”, tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: “Saya tidak suka kepada yang tenggelam”

Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: “Inilah Tuhanku”. Tetapi setelah bulan itu terbenam, dia berkata: “Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang yang sesat”

Kemudian tatkala ia melihat matahari terbit, dia berkata: “Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar”. Maka tatkala matahari itu terbenam, dia berkata: “Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan (QS. Al-An’aam : 76-78)

Nabi Ibrahim menjelaskan kepada kaumnya bahwa benda-benda langit tersebut tidak pantas menjadi Tuhan yang disembah karena bisa hilang dan tidak hadir setiap saat. Selain itu benda-benda langit tersebut beredar, terbit, dan tenggelam sesuai waktunya, yang menunjukkan bahwa benda-benda langit tersebut diatur dan bukan mengatur alam semesta.

إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيفًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ (79)

Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Robb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan (QS. Al-An’aam : 79)

Nabi Ibrahim menjelaskan kepada kaumnya bahwa beliau menyembah Tuhan yang memang berhak disembah yaitu yang menciptakan langit dan bumi

وَحَاجَّهُ قَوْمُهُ قَالَ أَتُحَاجُّونِّي فِي اللَّهِ وَقَدْ هَدَانِ وَلَا أَخَافُ مَا تُشْرِكُونَ بِهِ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ رَبِّي شَيْئًا وَسِعَ رَبِّي كُلَّ شَيْءٍ عِلْمًا أَفَلَا تَتَذَكَّرُونَ (80) وَكَيْفَ أَخَافُ مَا أَشْرَكْتُمْ وَلَا تَخَافُونَ أَنَّكُمْ أَشْرَكْتُمْ بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ عَلَيْكُمْ سُلْطَانًا فَأَيُّ الْفَرِيقَيْنِ أَحَقُّ بِالْأَمْنِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (81)

Dan dia dibantah oleh kaumnya. Dia berkata: “Apakah kamu hendak membantah tentang Allah, padahal sesungguhnya Allah telah memberi petunjuk kepadaku”. Dan aku tidak takut kepada (malapetaka dari) sembahan-sembahan yang kamu persekutukan dengan Allah, kecuali di kala Tuhanku menghendaki sesuatu (dari malapetaka) itu. Pengetahuan Tuhanku meliputi segala sesuatu. Maka apakah kamu tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya)?

Bagaimana aku takut kepada sembahan-sembahan yang kamu persekutukan (dengan Allah), padahal kamu tidak mempersekutukan Allah dengan sembahan-sembahan yang Allah sendiri tidak menurunkan hujjah kepadamu untuk mempersekutukan-Nya. Maka manakah di antara dua golongan itu yang lebih berhak memperoleh keamanan (dari malapetaka), jika kamu mengetahui (QS. Al-An’aam : 80-81)

Kaum Nabi Ibrahim menakut-nakuti Nabi Ibrahim dengan sesembahan-sesembahan mereka agar Nabi Ibrahim tidak kualat gara-gara mencela sesembahan mereka. Tapi Nabi justru membantah mereka dengan menjelaskan siapakah yang seharusnya ketakutan saya apa kalian?, siapakah yang lebih berhak merasa aman, saya apa kalian?

Lalu Allah sebutkan jawabannya dalam firmanNya :

الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ (82)

Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk (QS. Al-An’aam : 82)

Kedua : Maksud dari kezaliman dalam ayat ini adalah kesyirikan. Hal ini ditunjukan oleh konteks ayat, karena Nabi Ibrahim sedang menjelaskan perbandingan antara kesyirikan dan tauhid. Demikian pula ditunjukkan oleh hadits Nabi berikut ini :  Ibnu Mas’ud berkata :

لَمَّا نَزَلَتْ {الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ} شَقَّ ذَلِكَ عَلَى المُسْلِمِينَ، فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَيُّنَا لاَ يَظْلِمُ نَفْسَهُ؟ قَالَ: «لَيْسَ ذَلِكَ إِنَّمَا هُوَ الشِّرْكُ أَلَمْ تَسْمَعُوا مَا قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لاَ تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ»

Tatkala turun firman Allah (Orang-orang yang beriman dan tidak mencampurkan keimanan mereka dengan kezaliman), maka hal itu terasa berat oleh kaum muslimin. Maka mereka berkata, “Ya Rasulullah, siapakah diantara kita yang tidak menzalimi dirinya sendiri?”. Nabi berkata, “Tidaklah demikian, yang dimaksud (dengan kezaliman) adalah kesyirikan. Tidakkah kalian mendengar perkataan Luqman kepada putranya tatkala sedang menasehatinya, “Wahai putraku janganlah engkau berbuat kesyirikan kepada Allah, sesungguhnya kesyirikan adalah kezaliman yang besar” (HR Al-Bukhari no 3360 dan 3429)

Para sahabat memahami secara bahasa bahwasanya lafal ظُلْم dalam ayat بِظُلْمٍ adalah nakiroh (tanwin), dan dalam konteks kalimat penafian maka memberi memberikan faidah keumuman. Sehingga mereka memahami bahwa yang dimaksud dengan kezaliman dalam ayat adalah mencakup ketiga jenis kezaliman (kezaliman hamba terhadap dirinya, terhadap sesama, dan terhadap Allah). Dan Nabi tidak menyalahkan pemahaman mereka secara lughawi (secara penunjukan bahasa) bahwasanya nakiroh jika dalam konteks kalimat penafian maka memberikan faidah keumuman. Akan tetapi Nabi menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan lafal umum disini adalah إِطْلاَقُ الْعَامِّ يُرَادُ بِهِ الْخَاصُّ  lafal keumuman namun maksudnya adalah lafal khusus, karena ada dalil yang lain yaitu perkataan Luqman kepada putranya. Dari sini seakan-akan kita mengganti lafal بِظُلْمٍ dengan بِشِرْكٍ, sehingga keumuman terfokuskan pada keumuman kesyirikan. Maka barang siapa yang bisa terhindar dari segala bentuk kesyirikan maka ia akan mendapatkan keamanan yang sempurna (الأَمْنُ الْمُطْلَقُ) dengan masuk surga tanpa adzab dan tanpa hisab, serta mendapatkan hidayah yang sempurna. Dan sejauh mana ia terjerumus dalam kesyirikan maka sejauh itu pula keamanan yang ia dapatkan semakin berkurang.

Bahkan sebagian salaf memandang bahwa maksiat masuk dalam kategori syirik kecil, sehingga barangsiapa yang semakin terjerumus dalam syirik kecil (diantaranya kemaksiatan) maka ia tidak akan mendapatkan الأَمْنُ الْمُطْلَقُ keamanan yang sempurna, akan tetapi jika ia selamat dari syirik akbar maka ia tetap mendapatkan مُطْلَقُ الأَمْنِ asal keamanan, yaitu ia akan terjamin bebas dari kekal di neraka, meskipun ada kemungkinan ia masuk neraka karena dosa-dosanya tersebut.

([3] ) Dalil Kedua : Sisi pendalilannya adalah di akhir hadits Nabi berkata (Allah pasti memasukkannya ke dalam surga, bagaimanapun kondisi amal perbuatannya).

Ada dua pendapat tentang makna hadits ini berkaitan dengan sabda Nabi عَلَى مَا كَانَ مِنَ الْعَمَلِ:

Pertama : (Allah pasti memasukkannya ke dalam surga, bagaimanapun kondisi amal perbuatannya), yaitu jika dia bertauhid dengan bersaksi bahwa tidak ada yang berhak disembah melainkan Allah –disertai dengan aqidah yang lain yang disebutkan dalam hadits- maka ia pasti masuk surga (apakah masuk surga secara langsung, ataukah ujungnya pasti masuk surga meskipun disiksa terlebih dahulu), meskipun amalannya kurang, meskipun ia memiliki dosa-dosa, karena tauhidnya memiliki keutamaan yang sangat agung.

Kedua : (Allah pasti memasukkannya ke dalam surga, berdasarkan kondisi amal perbuatannya), yaitu ia akan masuk surga akan tetapi kedudukannya di surga berdasarkan amalannya. Karena surga bertingkat-tingkat. Nabi bersabda :

إِنَّ فِي الجَنَّةِ مِائَةَ دَرَجَةٍ، أَعَدَّهَا اللَّهُ لِلْمُجَاهِدِينَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، مَا بَيْنَ الدَّرَجَتَيْنِ كَمَا بَيْنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ، فَإِذَا سَأَلْتُمُ اللَّهَ، فَاسْأَلُوهُ الفِرْدَوْسَ، فَإِنَّهُ أَوْسَطُ الجَنَّةِ وَأَعْلَى الجَنَّةِ – أُرَاهُ – فَوْقَهُ عَرْشُ الرَّحْمَنِ، وَمِنْهُ تَفَجَّرُ أَنْهَارُ الجَنَّةِ

“Sesungguhnya di surga ada 100 derajat yang Allah siapkan untuk para mujahidin fi sabilillah. Jarak antara dua derajat sebagaimana antara langit dan bumi. Jika kalian memohon kepada Allah maka mohonlah surga Firdaus, karena ia adalah surga yang paling tengah dan paling tinggi, di atasnya ada ‘arys Allah, dan dari surga tersebutlah mengalir sungai-sungai surga” (HR Al-Bukhari no 2790).

Allah menyediakan surga bertingkat-tingkat bagi kaum mujahidin, demikian pula surga bertingkat-tingkat yang lain bagi selain mujahidin (lihat Fathul Baari 6/13)

Hadits ini membantah seluruh aliran kekufuran, membantah Yahudi (yang menyatakan Isa adalah anak zina), Nashrani (yang menyatakan bahwa Isa adalah Allah atau anak Allah), dan sebagian falasifah (yang mengingkari adanya surga dan neraka), kaum musyrikin penyembah berhala, Jahmiyah (dan Asya’irah) yang mengingkari Allah berbicara secara hakiki, dan juga kaum sufiyah yang berlebihan terhadap Nabi sehingga mengangkat beliau pada derajat ketuhanan.

([4] ) Dalil Ketiga : Sisi pendalilannya adalah keutamaan bagi orang yang mengucapkan kalimat tauhid dengan ikhlas mengharapkan wajah Allah, yaitu neraka diharamkan baginya. Dan ini merupakan kelaziman dari hadits sebelumnya (dalil kedua). Kalau hadits sebelumnya Nabi berkata “Allah pasti memasukkannya ke dalam surga, bagaimanapun kondisi amal perbuatannya“, maka pada hadits ini “Sesungguhnya Allah mengharamkan atasnya neraka“. Dan pengharaman dari neraka merupakan kelaziman dari pemasukan ke dalam surga.

Pada hadits ini jika seseorang mengucapkan laa ilaaha illallah dengan ikhlas dan memurnikan diri dari kesyirikan namun melakukan sebagian dosa dan kemaksiatan sehingga meninggal sebelum bertaubat darinya, maka ia berada di bawah kehendak Allah.

Pertama : Jika Allah berkehendak maka Allah akan ampuni seluruh dosanya sehingga ia langsung masuk surga tanpa disentuh neraka sama sekali, sehingga ia memperoleh التَّحْرِيْمُ الْمُطْلَقُ (pengharaman dari neraka secara mutlak)

Kedua : atau jika Allah berkehendak maka ia dibersihkan dulu dosa-dosanya di neraka lalu ia masuk surga, sehingga ia memperoleh مُطْلَقُ التَّحْرِيْمِ (pengharaman dari kekal di neraka)

Ini menunjukkan bahwa yang menyelamatkan bukan hanya sekedar mengucapkan laa ilaaha illalllah, tapi harus memenuhi persyaratannya, diantaranya adalah ikhlas karena Allah. Karena tentunya diketahui bahwasanya hanya sekedar mengucapkan tanpa memahami maknanya dan tanpa mengharapkan wajah Allah maka tidak akan memberi manfaat sama sekali. Orang gila bisa saja mengucapkannya, namun ia tidak memahami maknanya, dan orang munafiq juga mengucapkannya namun ia tidak ikhlas.

([5] ) Dalil keempat : Adapun sisi pendalilan dari hadits ini adalah jika seandainya ada dosa seberat langit dan bumi lalu ditimbang dibandingkan dengan laa ilaaha illallah maka masih lebih berat laa ilaaha illallah.

Hadits ini –sebagaimana penjelasan oleh penulis (Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab)- dishahihkan oleh Al-Hakim, bahkan disepakati oleh Adz-Dzahabi, sehingga penulis menyebutnya dalam kitab Tauhid. Akan tetapi pada sanadnya ada perawi yang bernamaدَرَّاج بْنُ سَمْعَانَ أَبُو السَّمْحِ  dan dia adalah perawi yang shaduq akan tetapi lemah jika ia meriwayatkan dari أَبُو الْهَيْثَمِ (lihat pernyataan Ibnu Hajar di  Taqriib At-Tahdziib hal 310, lihat juga Tahdziib at-Tahdziib 3/180-181). Sehingga hadits ini dilemahkan oleh sebagian ulama. Namun kenyataannya hadits ini kelemahannya tidak parah, karena silsilah periwayatan دَرَّاج عَنْ أَبِي الْهَيْثَمِ عَنْ أَبِي سَعِيْد الْخُدْرِي diperselisihkan oleh para ahli hadits. Ada yang menyatakan silsilah ini adalah lemah (sebagaimana ibarat Ibnu Hajar dalam At-Taqrib), ada yang mengatakan فِيْهَا ضَعْفٌ “ada kelemahan” (sebagaimana ibarat Imam Ahmad (lihat Al-Kaamil, Ibnu ‘Adiy 3/112) dan Al-Haitsami di Majma’ Az-Zawaid 10/88), ada yang mengatakan “tidak mengapa” (sebagaimana ibarat Yahya bin Ma’iin (lihat Al-Kamil, Ibnu ‘Adiy 3/113), dan bahkan ada yang menyatakan “shahih” (sebagaiamana ibarat Ibnu Hibban, Al-Hakim, dan Ibnu Khuzaimah). Karenanya hadits yang kedudukannya seperti ini akan menjadi kuat jika ada syawahidnya. Diantaranya adalah hadits yang dikenal dengan hadits الْبِطَاقَة (kartu laa ilaaha illallah). Ibnu Katsir berkata tentang hadits permintaan Musa ‘alaihis salam وَيَشْهَدُ لِهَذَا الْحَدِيثِ حَدِيثُ الْبِطَاقَةِ “Hadits ini dikuatkan oleh hadits al-bitoqoh” (Al-Bidaayah wa an-Nihaayah 2/161). Adapun hadits al-Bitoqoh yaitu sabda Nabi:

يُصَاحُ بِرَجُلٍ مِنْ أُمَّتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى رُؤوسِ الْخَلَائِقِ، فَيُنْشَرُ علَيه تِسْعَةٌ وَتِسْعُونَ سِجِلًّا، كُلُّ سِجِلٍّ مَدُّ الْبَصَرِ، ثُمَّ يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: هَلْ تُنْكِرُ مِنْ هَذَا شَيْئًا؟ فَيَقُولُ: لَا يَا رَبِّ. فَيَقُولُ: أَظَلَمَتْكَ كَتَبَتِي الْحَافِظُونَ؟ [فيقول: لا، يا رب]، ثُمَّ يَقُولُ: أَلَكَ عُذْرٌ، أَلَكَ حَسَنَةٌ؟ فَيَهَابُ الرَّجُلُ، فَيَقُولُ: لَا. فَيَقُولُ: بَلَى، إِنَّ لَكَ عِنْدَنَا حَسَنَاتٍ، وَإِنَّهُ لَا ظُلْمَ عَلَيْكَ الْيَوْمَ، فَتُخْرَجُ لَهُ بِطَاقَةٌ، فِيهَا: أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، قَالَ: فَيَقُولُ: يَا رَبِّ، مَا هَذِهِ الْبِطَاقَةُ مَعَ هَذِهِ السِّجِلَّاتِ. فَيَقُولُ: إِنَّكَ لَا تُظْلَمُ. فَتُوضَعُ السِّجِلَّاتُ فِي كِفَّةٍ وَالْبِطَاقَةُ فِي كِفَّةٍ، فَطَاشَتْ السِّجِلَّاتُ، وَثَقُلَتْ الْبِطَاقَةُ

Dipanggil dengan suara keras seorang dari umatku pada hari kiamat di hadapan keramaian manusia. Lalu dibukakan atasnya 99 catatan, setiap catatan sejauh jarak mata memandang. Lalu Allah berkata, “Apakah ada yang kau ingkari dari catatan ini?”. Ia berkata, “Tidak wahai Robbku”. Allah berkata, “Apakah para malaikat pencatat amal telah menzalimimu (dalam catatan ini)?”. Ia berkata, “Tidak wahai Robbku”. Lalu Allah berkata, “Apakah engkau punya udzur?, apakah engkau memiliki kebaikan?”. Maka orang itupun ketakutan, lalu ia berkata, “Tidak ada, wahai Robbku”. Allah berkata, “Ada, sesungguhnya di sisi Kami engkau memiliki kebaikan-kebaikan. Dan sesungguhnya engkau tidak akan dizalimi pada hari ini”. Lalu dikeluarkan baginya sebuah kartu yang bertuliskan “Aku bersaksi bahwasanya tidak ada yang berhak disembah melainkan Allah dan bahwasanya Muhammad adalah hamba dan utusanNya”. Ia berkata, “Ya Robbku, apa nilai kartu ini dibandingkan dengan catatan-catatan keburukanku itu?”. Allah berkata, “Kau tidak akan dizalimi”. Lalu diletakan kartu tersebut di daun timbangan dan diletakan catatan-catatan keburukan di daun timbangan yang lain maka ternyata catatan-catatan keburukan menjadi ringan dan lebih berat kartu tersebut” (HR Ibnu Maajah no 4300, At-Tirmidzi no 2639, Ahmad no 6994, Al-Hakim no 9 dan Ibnu Hibban no 225).

Hadits ini menunjukkan bahwa dosa-dosa tidak mampu berhadapan dengan tauhid laa ilaaha illallah, akan tetapi tentunya bagi orang yang tauhidnya kuat. Karena setiap muslim memiliki kartu laa ilaaha illallahu, hanya saja kualitasnya bertingkat-tingkat.

Ibnu Katsir (lihat Al-Bidayah wa an-Nihayah 2/161) juga menyebutkan syahid (hadits penguat) yang lain yang menguatkan hadits permintaan nabi Musa. Yaitu sabda Nabi :

وَخَيْرُ مَا قُلْتُ أَنَا وَالنَّبِيُّونَ مِنْ قَبْلِي: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، لَهُ المُلْكُ وَلَهُ الحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

“Sebaik-baik apa yang aku dan para nabi sebelumku ucapkan adalah : Laa ilaaha illallahu…dst” (HR At-Tirmidzi no 3585)

Kesimpulannya hadits ini adalah hadits yang hasan atau shahih li ghoirihi. (Hadits ini dinyatakan shahih oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Baari 11/208, dan juga Ibnu Katsir)

Faidah-faidah hadits ini :

Pertama : Nabi Musa ‘alaihis salam perlu untuk diingatkan oleh Allah akan keagungan kalimat tauhid

Kedua : Allah berada di atas langit sebagamana para malaikat di langit. Hanya saja malaikat membutuhkan langit adapun Allah tidak membutuhkan langit, justru langit yang membutuhkan Allah.

إِنَّ اللَّهَ يُمْسِكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ أَنْ تَزُولَا وَلَئِنْ زَالَتَا إِنْ أَمْسَكَهُمَا مِنْ أَحَدٍ مِنْ بَعْدِهِ

Sesungguhnya Allah menahan langit dan bumi supaya jangan lenyap; dan sungguh jika keduanya akan lenyap tidak ada seorangpun yang dapat menahan keduanya selain Allah. (QS. Fathir : 41)

([6] )   Dalil Kelima : Sisi pendalilannya adalah seorang yang bertauhid dan selamat dari kesyirikan maka akan diampuni dosa-dosanya meskipun sepenuh bumi ini.

Bab ini secara khusus menjelaskan akan luasnya rahmat Allah. Diantara rahmatNya, Allah membuka pintu taubat seluas-luasnya sebelum nyawa di kerongkongan. Maka jangan sampai ada sesorang menyangka akan ada yang mampu menutup pintu tersebut setelah dibuka selebar-lebarnya oleh Allah. Dan diantara rahmat Allah ternyata dihapuskannya dosa-dosa bukan hanya dengan taubat saja –sebagaimana persangkaan sebagian orang-, akan tetapi masih ada pintu-pintu yang lain. Diantaranya adalah pintu tauhid. Seorang jika tauhidnya kuat maka dosa-dosanya bisa dihapuskan oleh Allah meskipun ia tidak sempat bertaubat. Bahkan Ibnu Taimiyyah menyebutkan ada sekitar 10 sebab digugurkannya dosa-dosa (lihat Majmu’ Al-Fataawa 7/487-501)

Hadits ini juga membantah khowarij yang mengkafirkan orang yang terjerumus dalam dosa besar. Karena dalam hadits ini disebutkan seseorang bisa saja membawa dosa sebesar dan seberat bumi namun ia tidak kafir dan masih mungkin untuk diampuni. Dosa sebesar bumi tentu saja diantaranya dosa-dosa besar.

Diantara rahmat Allah dalam hadits ini, Allah tidak mempersyaratkan untuk selalu bersih dari kesyirikan apapun. Karena hal itu hampir-hampir mustahil bagi kebanyakan manusia. Siapakah yang tidak pernah riyaa? Tidak ingin dipuji tatkala beramal sholih? Siapakah yang tidak pernah ujub sama sekali dalam kehidupannya?.

Akan tetapi yang Allah persyaratkan adalah ia bersih dari segala kesyirikan tatkala bertemu dengan Allah, yaitu tatkala meninggal dunia. Maka hadits ini memotivasi seseorang untuk terus berjuang membersihkan hatinya dari segala kesyirikan, membersihkan lisannya dan anggota tubuhnya dari segala bentuk kesyirikan. Memurnikan hatinya dari segala bentuk ketergantungan kepada makhluk, kepada manusia, dan menjadikan segala harapan dan ketergantungan hanya kepada Allah. Dan ini adalah perjuangan seumur hidup. Betapa banyak orang yang di awal begitu sulit meninggalkan sikap riya’ mencari pujian orang lain, akan tetapi setelah berjuang dan belajar terus tentang tauhid, serta selalu mempraktikannya maka iapun dimudahkan untuk ikhlash dan tidak berharap sanjungan manusia. Semoga Allah mewafatkan kita di atas keikhlasan dan tauhid yang murni.

([7] )  Asy’ariyah adalah salah satu aliran teologis, yang berafiliasi kepada Abu Hasan Ali bin Ismail Al Asy’ari (260 – 324 H = 874 – 936 M). Dan maksud penulis di sini ialah menetapkan sifat-sifat Allah sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Termasuk sifat-sifat yang ditetapkan dalam hadits-hadits bab ini adalah sifat wajah bagi Allah, sifat berbicaranya Allah dengan huruf dan suara, dan sifat ketinggian dzat Allah. Tiga sifat ini diantaranya yang diingkari oleh kaum Asya’iroh dengan mentakwilnya.

([8] )  Kalimat Allah maksudnya bahwa Nabi Isa itu diciptakan Allah dengan firman-Nya “Kun” (jadilah) yang disampaikan-Nya kepada Maryam melalui malaikat Jibril.



Baca lebih banyak di https://firanda.com https://firanda.com/2174-keutamaan-tauhid-dan-dosa-dosa-yang-digugurkannya.html

Penjelasan Kitab Tauhid BAB 4 – TAKUT KEPADA SYIRIK

BAB 4 ( [1] ) TAKUT KEPADA SYIRIK ( [2] ) Firman Allah  Subhanahu wa Ta’ala  : إِنَّ اللَّـهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا ...